۞ جَعَلَ اللّٰهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيٰمًا لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَاۤىِٕدَ ۗذٰلِكَ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۙ وَاَنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ( المائدة: ٩٧ )
Ja`ala Allāhu Al-Ka`bata Al-Bayta Al-Ĥarāma Qiyāmāan Lilnnāsi Wa Ash-Shahra Al-Ĥarāma Wa Al-Hadya Wa Al-Qalā'ida Dhālika Lita`lamū 'Anna Allāha Ya`lamu Mā Fī As-Samāwāti Wa Mā Fī Al-'Arđi Wa 'Anna Allāha Bikulli Shay'in `Alīmun. (al-Māʾidah 5:97)
Artinya:
Allah telah menjadikan Ka‘bah rumah suci tempat manusia berkumpul. Demikian pula bulan haram, hadyu dan qala'id. Yang demikian itu agar kamu mengetahui, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. [5] Al-Ma'idah : 97)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Ayat ini menjelaskan bahwa pada bulan haram, orang-orang beriman dilarang berperang di sekitar Ka'bah. Allah telah menjadikan Kakbah rumah suci tempat manusia berkumpul. Ka'bah dan sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan urusan dunia seperti berbisnis dan berdagang; dan urusan akhirat seperti berhaji dan berumrah. Demikian pula Allah telah menjadikan bulan haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab, sebagai waktu yang diharamkan untuk berperang di sekitar Kakbah dan tanah haram. Allah juga telah menetapkan hadyu, hewan yang menjadi denda atas pelanggaran larangan ihram yang akan disembelih di tanah haram; dan qala'id, hewan yang diberi kalung sebagai tanda akan disembelih di tanah haram. Semuanya merupakan tanda keagungan Allah, Tuhan yang memelihara Kakbah. Yang demikian itu agar kamu mengetahui bahwa Allah Tuhan yang menciptakan alam semesta ini mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dalam penglihatan manusia.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan Ka'bah rumah suci itu, sebagai pusat kegiatan bagi manusia, baik kegiatan-kegiatan dalam urusan duniawi, seperti perdagangan dan sebagainya, maupun kegiatan beribadah haji dan umrah bagi orang-orang mukmin di seluruh penjuru dunia.
Allah menetapkan bulan-bulan haram “yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab“ yang merupakan masa-masa yang tenang untuk beribadat dan bekerja bagi mereka, karena pada bulan-bulan tersebut tidak diperbolehkan berperang. Begitu pula, binatang-binatang ternak seperti unta, lembu, kambing dan biri-biri yang disembelih di tanah haram sebagai hadiah dan dibagi-bagikan kepada fakir dan miskin, demikian pula binatang yang diberi kalung, yaitu unta atau kambing gemuk untuk menandakan bahwa binatang-binatang itu telah diperuntukkan sebagai hadyu (kurban) yang akan disembelih. Dengan demikian, adanya penyembelihan hewan-hewan tersebut tentu akan menambah syiarnya ibadah kaum Muslimin dan merupakan saat-saat bahagia pula bagi fakir dan miskin. Orang-orang mukmin tidak merasa kuatir atas keselamatan diri mereka pada saat-saat tersebut, sebab apabila mereka telah mengalungi hewan-hewan yang akan mereka sembelih itu, atau bila mereka telah memakai pakaian ihram maka tak seorang pun yang akan mengganggu atau mengancam keselamatan diri mereka.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa semuanya itu ditetapkan agar hamba-Nya mengetahui bahwa Dia senantiasa mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Buktinya Allah telah menetapkan semuanya untuk mendatangkan kemaslahatan bagi mereka dan untuk menghindari malapetaka sebelum terjadi. Dengan demikian jelas bahwa Allah mengetahui apa-apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Berdasarkan ilmu-Nya yang Maha Luas itulah Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-Nya bagi kemaslahatan hamba-Nya.
3 Tafsir Ibnu Katsir
(96-99) Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, juga dari Sa'id Ibnul Musayyab serta Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya sehubungan dengan makna firman Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut. (Al Maidah:96) Yang dimaksud ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan segar. dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al Maidah:96) Yakni makanan yang bersumber dari laut untuk dijadikan bekal dalam keadaan diasin dan telah kering.
Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnu Amr dan Abu Ayyub Al-Ansari radiyalTahu 'anhum, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha'i serta Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan taamuhu ialah semua yang ada di dalam laut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Sammak yang mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah kepada orang banyak, antara lain ia membacakan firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat untuk kalian.
Bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan oleh laut ke darat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah sesuatu dari laut yang tercampakkan ke darat.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ta’amuhu artinya sesuatu dari laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan hidup, atau yang terdampar dalam keadaan telah mati. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', bahwa Abdur Rahman ibnu Abu Hurairah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya laut sering mencampakkan banyak ikan dalam keadaan telah mati, bolehkah kami memakannya?" Ibnu Umar menjawab, "Jangan kalian makan." Ketika Ibnu Umar kembali kepada keluarganya dan mengambil mushaf, lalu membaca surat Al-Maidah hingga sampai pada firman Allah Swt.:
...dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.
Maka Ibnu Umar berkata, "Pergilah kamu, dan katakan padanya bahwa ia boleh memakannya, karena sesungguhnya apa yang ditanyakannya itu termasuk makanan yang berasal dari laut."
Hal yang sama dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang mati di dalam laut. Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan oleh hadis, sebagian dari mereka ada yang meriwayatkannya secara mauquf.
Telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian.
Lalu Nabi Saw. bersabda: Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang me-mauquf-kan hadis ini hanya sampai pada Abu Hurairah.
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.
Abu Hurairah mengatakan bahwa ta'amuhu ialah binatang laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati.
Firman Allah Swt.:
Sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.
Yakni sebagai sesuatu yang bermanfaat dan makanan buat kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.
Firman Allah Swt.:
...dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.
Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanannya. Lafaz sayyarah adalah bentuk jamak dari lafaz siyarun. Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang berada di pinggir laut dan dalam perjalanannya.
Orang lain selain Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan saidul bahri ialah hewan laut yang masih segar bagi orang yang menangkapnya langsung dari laut. Sedangkan yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang telah mati atau yang ditangkap dari laut, kemudian diasin yang adakalanya dijadikan sebagai bekal oleh orang-orang yang dalam perjalanannya dan orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari pantai. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, dan lain-lainnya.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil yang menghalalkan bangkai hewan laut dari ayat ini dan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas, dari Ibnu Wahb, dan Ibnu Kaisan dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah orang dalam suatu pasukan dengan misi khusus ke arah pantai. Dan Nabi Saw. mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin mereka. Jumlah mereka kurang lebih tiga ratus orang, dan perawi sendiri (yakni Jabir ibnu Abdullah) termasuk salah seorang dari mereka.
Kami berangkat, dan ketika kami sampai di tengah jalan, semua perbekalan yang kami bawa habis. Maka Abu Ubaidah ibnul Jarrah memerintahkan agar semua perbekalan yang tersisa dari pasukan itu dikumpulkan menjadi satu. Jabir ibnu Abdullah berkata, "Saat itu perbekalanku adalah buah kurma. Sejak itu Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan sedikit demi sedikit, sehingga semua perbekalan habis. Yang kami peroleh dari perbekalan itu hanyalah sebiji kurma. Kami benar-benar merasa kepayahan setelah perbekalan kami habis."
"Tidak lama kemudian sampailah kami di tepi pantai, dan tiba-tiba kami menjumpai seekor ikan paus yang besarnya sama dengan sebuah gundukan tanah yang besar. Maka pasukan itu makan daging ikan paus tersebut selama delapan belas hari. Kemudian Abu Ubaidah memerintahkan agar dua buah tulang iga ikan itu ditegakkan, lalu ia memerintahkan agar seekor unta dilalukan di bawahnya, ternyata unta itu tidak menyentuh kedua tulang iga yang diberdirikan itu (saking besarnya ikan itu)."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain, dan mempunyai banyak jalur bersumber dari Jabir ibnu Abdullah.
Di dalam kitab Sahih Muslim, melalui riwayat Abuz Zubair, dari Jabir disebutkan, "Tiba-tiba di pinggir laut terdapat hewan yang besarnya seperti gundukan tanah yang sangat besar. Lalu kami mendatanginya, ternyata hewan tersebut adalah seekor ikan yang dikenal dengan nama ikan paus 'anbar." Abu Ubaidah mengatakan bahwa hewan ini telah mati. Tetapi akhirnya Abu Ubaidah berkata, "Tidak, kami adalah utusan Rasulullah Saw., sedangkan kalian dalam keadaan darurat. Maka makanlah hewan ini oleh kalian."
Jabir melanjutkan kisahnya, "Kami mengkonsumsi ikan tersebut selama satu bulan, sedangkan jumlah kami seluruhnya ada tiga ratus orang, hingga kami semua gemuk karenanya. Kami mencedok minyak ikan dari kedua mata ikan itu dengan memakai ember besar, dan dari bagian mata itu kami dapat memotong daging sebesar kepala banteng."
Jabir mengatakan bahwa Abu Ubaidah mengambil tiga belas orang lelaki, lalu mendudukkan mereka pada liang kedua mata ikan itu, dan ternyata mereka semuanya muat di dalamnya. Lalu Abu Ubaidah mengambil salah satu dari tulang iga ikan itu dan menegakkannya, kemudian memerintahkan agar melalukan seekor unta yang paling besar yang ada pada kami di bawahnya, dan ternyata unta itu dapat melaluinya dari bawahnya. Kami sempat mengambil bekal daging ikan itu dalam jumlah yang ber-wasaq-wasaq (cukup banyak).
Selanjutnya Jabir berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami menghadap kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut, maka beliau Saw. bersabda:
Ikan itu adalah rezeki yang dikeluarkan oleh Allah bagi kalian, apakah masih ada pada kalian sesuatu dari dagingnya untuk makan kami'?”
Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu kami kirimkan kepada Rasulullah Saw. sebagian darinya, dan beliau Saw. memakannya."
Menurut sebagian riwayat Imam Muslim, mereka menemukan ikan paus ini bersama Nabi Saw. Sedangkan menurut sebagian dari mereka, peristiwa tersebut terjadi di waktu yang lain. Dan menurut yang lainnya, peristiwanya memang satu, tetapi pada mulanya mereka bersama Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. mengirimkan mereka dalam suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul Jarrah, lalu mereka menemukan ikan besar itu, sedangkan mereka berada dalam pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah.
Malik telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Salim, dari Sa'id ibnu Salamah, dari kalangan keluarga Ibnul Azraq, bahwa Al-Mugirah ibnu Abu Burdah dari kalangan Bani Abdud Dar pernah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa memakai jalan laut, dan kami hanya membawa persediaan air tawar yang sedikit. Jika kami pakai untuk wudu, niscaya kami nanti akan kehausan. Maka bolehkah kami berwudu dengan memakai air laut?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh kedua orang imam —yaitu Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal— serta empat orang pemilik kitab Sunan, dan dinilai sahih oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban serta lain-lainnya. Dan telah diriwayatkan hal yang semisal dari sejumlah sahabat Nabi Saw., dari Nabi Saw.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah,
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah Al-Jamal, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah, dari Allasah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jabir dan Anas ibnu Malik, bahwa Nabi Saw. apabila mendoakan kebinasaan belalang mengucapkan seperti berikut: Ya Allah, hancurkanlah yang besarnya, bunuhlah yang kecilnya, rusaklah telurnya, dan binasakanlah sampai ke akar-akarnya, dan cekallah mulutnya jauh dari penghidupan dan rezeki kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa (Maha Memperkenankan doa). Lalu Khalid bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau mendoakan kebinasaan sampai ke akar-akarnya bagi salah satu dari balatentara Allah?" Nabi Saw. menjawab: Sesungguhnya belalang itu dikeluarkan oleh ikan paus dari hidungnya di laut. Hasyim mengatakan, "Ziyad telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seseorang yang pernah melihat ikan paus menyebarkannya."
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid.
Imam Syafii telah meriwayatkan dari Sa'id, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengingkari orang yang berburu belalang di tanah suci.
Ayat ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama fiqih yang berpendapat bahwa semua hewan laut boleh dimakan dan tiada sesuatu pun darinya yang dikecualikan. Dalam asar terdahulu yang bersumber dari Abu Bakar As-Siddiq dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah semua hewan yang hidup di laut. Dan ada sebagian dari mereka yang mengecualikan katak, tetapi selainnya diperbolehkan, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui riwayat Ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id ibnu Khalid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Abdur Rahman ibnu Usman At-Taimi:
Bahwa Rasulullah Saw. melarang membunuh katak.
Menurut riwayat Imam Nasai, melalui Abdullah ibnu Amr, disebutkan:
Rasulullah Saw. telah melarang membunuh katak. Dan beliau Saw. mengatakan bahwa suara katak adalah tasbih (nya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa hewan buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, sedangkan yang tidak boleh dimakan ialah katak (laut).
Mereka berselisih pendapat mengenai selain keduanya. Menurut suatu pendapat, selain dari itu boleh dimakan, dan menurut pendapat lain, tidak boleh dimakan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa hewan yang semisal dari hewan darat dapat dimakan, maka hewan yang semisal dari hewan laut dapat dimakan pula. Dan hewan yang semisal dari hewan laut tidak dapat dimakan, maka hewan yang semisal dari hewan darat tidak dapat dimakan, maka hewan yang semisal hewan laut tidak dapat dimakan pula. Semua pendapat yang telah disebutkan di atas merupakan keanekaragaman pendapat yang ada di dalam mazhab Imam Syafii rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, hewan laut yang mati di laut tidak boleh dimakan, sebagaimana tidak boleh dimakan hewan (darat) yang mati di darat, karena berdasarkan keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai. (Al Maidah:3)
Dan telah disebutkan di dalam sebuah hadis hal yang semakna dengan pengertian ayat ini.
Jumhur ulama dari kalangan murid-murid Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpegang kepada hadis ikan paus yang telah disebutkan sebelum ini, juga kepada hadis lainnya yang mengatakan:
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.
Yang telah diketengahkan pula sebelum ini.
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu ialah ikan dan belalang, dan dua jenis darah itu ialah hati dan limpa.
Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi telah meriwayatkannya pula. Hadis ini mempunyai banyak syawahid (bukti-bukti) yang menguatkannya. Dan hadis ini telah diriwayatkan pula secara mauquf.
Firman Allah Swt.:
...dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.
Yakni selagi kalian masih dalam ihram diharamkan atas kalian melakukan perburuan terhadap binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang yang sedang ihram sengaja melakukan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan denda. Atau jika ia melakukannya secara keliru, maka dia harus membayar dendanya, dan ia diharamkan memakan hasil buruannya, karena binatang buruannya itu bagi dia kedudukannya sama dengan bangkai, demikian pula bagi orang lain dari kalangan orang-orang yang sedang ihram, juga orang-orang yang bertahallul, menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan Muhammad ibnul Hasan serta lain-lainnya.
Jika si muhrim yang memburunya memakannya atau memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus membayar denda yang kedua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para ulama.
Pendapat pertama mengatakan harus membayar denda kedua. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang mengatakan, "Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat menyembelihnya, lalu memakannya, maka dia dikenakan dua kifarat." Pendapat ini dipegang oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua mengatakan, tidak ada denda atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat ini dinaskan oleh Malik ibnu Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh semua mazhab ulama fiqih di kota-kota besar dan jumhur ulama. Kemudian Abu Umar menyamakannya dengan masalah "seandainya seseorang menginjak dan menginjak serta menginjak lagi sebelum ia dikenai hukuman had, maka sesungguhnya yang diwajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.
Imam Abu Hanifah mengatakan, si pemakan dikenai harga sejumlah yang dimakannya.
Abu Saur mengatakan, "Apabila seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus membayar dendanya, dan dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu, hanya saja aku memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya," karena ada hadis Rasulullah Saw. yang mengatakan:
Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian, sedangkan kalian dalam keadaan berihram, selagi kalian bukan yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hadis ini akan dijelaskan kemudian. Kalimat yang mengatakan 'boleh memakannya bagi orang yang membunuhnya' merupakan hal yang garib (aneh).
Adapun bagi selain orang yang membunuhnya, masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami sebutkan ialah pendapat yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya mengatakan selain pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram ataupun telah bertahallul, karena berdasarkan hadis yang baru disebutkan tadi.
Adapun bila seseorang yang telah bertahallul membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang berihram, maka sebagian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak tanpa ada rincian antara perburuan yang dilakukan secara sengaja untuknya atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Umar ibnul Khattab, Abu Hurairah, Az-Zubair ibnul Awwam, Ka'b Al-Anbar, Mujahid dan Ata dalam suatu riwayatnya, dan Sa'id ibnu Jubair. Hal yang sama telah dikatakan oleh ulama Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah menceritakan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai daging dari hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang telah bertahallul, apakah orang yang sedang ihram boleh memakannya? Maka Abu Hurairah memberikan fatwa boleh memakannya. Kemudian ia menemui Umar ibnul Khattab, lalu menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar ibnul Khattab berkata kepadanya (Abu Hurairah), "Seandainya kamu memberi mereka fatwa selain dari itu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit (karena dipukul)."
Ulama lain mengatakan, orang yang sedang ihram sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat ini melarangnya secara mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Tawus dan Abdul Karim, dari Ibnu Abu Asiah, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa ia menilai makruh bila orang yang sedang ihram memakan hasil buruan. Dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang menerangkan tentangnya bersifat mubham (misteri), yakni firman Allah Swt.:
dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnu Umar, bahwa dia memakruhkan orang muhrim (yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Ma'mar mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang semisal. Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan Jabir ibnu Zaid.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh As- Sauri dan Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayatnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Talib. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Sa'id ibnu Abu Urubah dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Ali ibnu Abu Talib memakruhkan bagi orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Imam Malik, Syafii, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat, serta jumhur ulama berpendapat: Jika orang yang telah bertahallul bermaksud melakukan perburuan untuk orang yang berihram, maka orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadis As-Sa'b ibnu Jusamah, ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya di Abwa atau Wuddan kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. menolak pemberiannya itu. Tetapi setelah Nabi Saw. melihat perubahan roman muka As-Sa'b ibnu Jusamah, beliau Saw. bersabda:
Sesungguhnya kami tidak sekali-kali mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram.
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan mempunyai lafaz yang banyak.
Jumhur ulama mengatakan, yang tersimpulkan dari hadis ini ialah "Nabi Saw. menduga bahwa hewan buruan tersebut sengaja diburu hanya untuk Nabi Saw., maka Nabi Saw. menolaknya". Adapun jika perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang bersangkutan, maka ia diperbolehkan memakannya. Karena berdasarkan hadis Abu Qatadah ketika ia berburu seekor kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram, sedangkan teman-temannya dalam keadaan ihram. Lalu mereka tidak berani memakannya dan menanyakannya lebih dahulu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"Apakah ada seseorang dari kalian yang mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu membunuhnya?” Mereka menjawab, ''Tidak.” Nabi Saw. bersabda, "Kalau demikian, makanlah oleh kalian." Dan Rasulullah Saw. sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan pula dalam kitab Sahihain dengan lafaz yang banyak.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa'id, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, dan menurut Qutaibah dalam hadisnya, perawi pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian —menurut hadis Sa'id disebutkan bahwa sedangkan kalian dalam keadaan ihram—selagi bukan kalian sendiri yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai, semuanya dari Qutaibah. Imam Turmuzi mengatakan, ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib pernah mendengar dari Jabir.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii telah meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari maulanya (yaitu Al-Muttalib), dari Jabir. Kemudian Imam Syafii mengatakan bahwa ini merupakan hadis yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan dalam bab ini.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan di Al-'Arj dalam keadaan ihram di hari yang panas (musim panas), sedangkan ia menutupi (menaungi) wajahnya dengan kain urjuwan. Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia berkata kepada teman-temannya, "Makanlah oleh kalian." Mereka berkata, "Mengapa engkau sendiri tidak ikut makan?" Khalifah Usman menjawab, "Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya hewan buruan ini sengaja diburu hanya untukku."
4 Tafsir Al-Jalalain
(Allah telah menjadikan Kakbah rumah suci itu) rumah yang disucikan (sebagai pusat kegiatan umat manusia) yang mereka melaksanakan urusan agamanya dengan berhaji kepadanya, dan mengatur urusan keduniaan mereka dengan mengamankan orang-orang yang masuk ke dalamnya dan menjamin keselamatan mereka, kemudian mendatangkan semua jenis buah-buahan ke dalamnya. Menurut suatu qiraat dibaca qiyaman tanpa alif panjang yang berakar dari kata qaama tanpa dii'lalkan (dan bulan haram) yang dimaksud adalah bulan-bulan haram seperti Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengamankan lingkungan dan tidak boleh melakukan peperangan dalam bulan-bulan tersebut (dan hadya serta qalaid) sebagai pertanda bagi semua orang bahwa kedua jenis hewan kurban itu tidak boleh diganggu dan harus diamankan. (Demikian itu) peraturan yang telah disebutkan itu (agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) karena sesungguhnya Ia telah menjadikan peraturan tersebut demi kemaslahatan kamu dan demi untuk menolak mara bahaya dari dirimu sebelum segala sesuatunya terjadi; hal ini jelas menunjukkan pengetahuan Allah yang mencakup semua yang ada dalam alam wujud ini dan semua yang sedang berlangsung.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Allah telah menjadikan Ka'bah--yaitu rumah yang diagungkan, di mana menyakiti manusia dan hewan liar di dalamnya dan di sekitarnya tidak diperbolehkan--berdiri tegak dan diagungkan yang melindungi dan memberikan keamanan bagi manusia. Kepadanya orang-orang menghadapkan wajah dalam salat, dan kepadanya orang-orang berkunjung untuk melaksanakan ibadah haji sebagai tamu Allah dan dalam membentuk persatuan. Demikian pula, Allah menjadikan bulan haji dan hewan korban yang dipersembahkan ke Ka'bah, khususnya yang di lehernya digantungkan kalung supaya orang-orang yang melihat merasakan itu sebagai persembahan Ka'bah. Dengan melaksanakan itu semua, diharapkan kalian yakin bahwa pengetahuan Allah meliputi langit, tempat asal turunnya wahyu, dan meliputi bumi, sehingga dapat menentukan syariat yang sesuai dengan maslahat mereka. Sesungguhnya pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu.