حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ( المائدة: ٣ )
Ĥurrimat `Alaykum Al-Maytatu Wa Ad-Damu Wa Laĥmu Al-Khinzīri Wa Mā 'Uhilla Lighayri Allāhi Bihi Wa Al-Munkhaniqatu Wa Al-Mawqūdhatu Wa Al-Mutaraddiyatu Wa An-Naţīĥatu Wa Mā 'Akala As-Sabu`u 'Illā Mā Dhakkaytum Wa Mā Dhubiĥa `Alaá An-Nuşubi Wa 'An Tastaqsimū Bil-'Azlāmi Dhālikum Fisqun Al-Yawma Ya'isa Al-Ladhīna Kafarū Min Dīnikum Falā Takhshawhum Wa Akhshawnī Al-Yawma 'Akmaltu Lakum Dīnakum Wa 'Atmamtu `Alaykum Ni`matī Wa Rađītu Lakum Al-'Islāma Dīnāan Faman Ađţurra Fī Makhmaşatin Ghayra Mutajānifin L'ithmin Fa'inna Allāha Ghafūrun Raĥīmun. (al-Māʾidah 5:3)
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. [5] Al-Ma'idah : 3)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Pada ayat yang lalu telah dijelaskan beberapa perbuatan yang diharamkan. Ayat ini menguraikan lebih terperinci makanan-makanan yang diharamkan. Ada sepuluh jenis makanan yang diharamkan, semuanya berasal dari hewan. Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam Surah alAn'a m/6: 145, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, demikian pula diharamkan daging hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas adalah halal hukumnya kalau sempat disembelih sebelum mati.
Dan diharamkan pula hewan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasib dengan anak panah. Orang Arab Jahiliah menggunakan anak panah untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Mereka mengambil tiga buah anak panah yang belum memakai bulu, masing-masing anak panah itu ditulis dengan kata-kata "lakukan"," jangan lakukan", dan anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Semua anak panah itu diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Kakbah. Bila mereka hendak melakukan suatu perbuatan, maka mereka meminta agar juru kunci Kakbah mengambil salah satu dari tiga anak panah itu. Mereka melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bunyi kalimat yang tertulis dalam anak panah yang diambilnya. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulangi sekali lagi. Janganlah melakukan yang demikian itu karena itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini, yaitu pada waktu Haji Wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa, dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Dalam ayat ini dijelaskan makanan-makanan yang diharamkan, yaitu:
1.Bangkai, yaitu binatang yang mati tanpa disembelih. Di antara hikmah diharamkan bangkai antara lain karena bangkai itu mengandung kuman yang sangat membahayakan kesehatan di samping keadaannya yang menjijikkan.
2.Darah, yaitu darah yang mengalir keluar dari tubuh hewan, karena disembelih atau lain-lainnya. Hikmah diharamkan darah itu antara lain, karena mengandung kuman dan zat-zat kotor dari tubuh dan sukar dicernakan.
3.Daging babi, termasuk semua anggota tubuhnya.
4.Hewan yang disembelih dengan menyebut atau mengagungkan nama selain Allah, seperti menyebut nama berhala. Hikmah haramnya ialah karena mempersekutukan Allah.
5.Hewan mati tercekik. Banyak pendapat menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan mati tercekik, yaitu di antaranya mati karena diikat dan sebagainya, sehingga hewan itu mati dalam keadaan tidak berdaya. Hikmah haramnya sama dengan hikmah haramnya bangkai.
6.Hewan mati dipukul, yaitu hewan yang mati dipukul dengan benda keras atau dengan benda berat. Hikmah haramnya menurut sebagian pendapat karena darahnya tidak keluar, sehingga merusak dagingnya. Selain dari itu juga karena ada larangan menganiaya binatang dan jelas perbuatan itu dianggap melanggar hadis Nabi yang berbunyi:
Dari Syaddad bin Aus, Rasulullah saw, bersabda, "Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas setiap sesuatu, kalau kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan kalau menyembelih, sembelihlah dengan baik, hendaklah seorang kamu mempertajam pisaunya dan jangan sampai tersiksa binatang sembelihannya." (Riwayat Ahmad, Muslim dan Ashabus-Sunan).
7.Hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi seperti jatuh dari atas bukit masuk ke dalam jurang. Hikmah haramnya sama dengan bangkai.
8.Hewan mati karena ditanduk oleh hewan lain. Hikmahnya sama dengan bangkai. Kalau masih sempat disembelih maka hukumnya halal.
9.Hewan yang mati diterkam binatang buas. Hikmahnya sama dengan bangkai, kalau masih sempat disembelih maka hukumnya halal.
10.Hewan yang disembelih untuk berhala, sebagaimana yang diperbuat oleh orang Arab pada zaman jahiliah yang menyembelih hewan di dekat berhala-berhala yang jumlahnya 360, terdapat di sekitar Kabah. Hikmah haramnya adalah karena perbuatan ini termasuk mempersekutukan Allah.
Selanjutnya diterangkan tentang haramnya mengundi nasib dengan anak panah, seperti yang dilakukan oleh orang Arab pada masa jahiliah, yaitu dengan mengambil tiga anak panah yang belum ada bulu, salah satu anak panah itu ditulis dengan perkataan: "Amarani rabbi" (Tuhanku telah menyuruhku), anak panah yang kedua ditulis dengan perkataan: "Nahani rabbi" (Tuhanku melarangku), sedang anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Anak panah itu disimpan di dalam Kabah. Jika mereka bermaksud mengerjakan pekerjaan yang besar dan penting, mereka minta tolong kepada penjaga Kabah mencabut salah satu dari ketiga anak panah tersebut dan melaksanakan apa yang tertulis pada anak panah yang diambil itu. Kalau terambil anak panah yang tidak ditulis apa-apa, maka undian diulangi lagi. Perbuatan ini dilarang karena mengandung syirik atau tahayul dan khurafat. Dalam hal ini menurut ajaran Rasulullah saw bila hendak memilih salah satu dari dua pekerjaan yang sama pentingnya atau memilih di antara melaksanakan atau tidak, maka hendaklah melaksanakan salat istikharah dua rakaat. Kalau undian biasa (qur'ah) yang tidak mengandung kefasikan atau tahayul dan khurafat, tidaklah diharamkan, seperti undian untuk mengambil salah satu bagian dari dua tumpukan yang sudah diusahakan sama banyaknya, siapa yang berhak dari masing-masing tumpukan itu lalu diadakan qur'ah (undian).
Selanjutnya diterangkan bahwa pada haji wada orang-orang kafir telah putus asa dalam usahanya untuk mengalahkan agama Islam. Oleh karena itu kaum Muslimin tidak boleh merasa takut kepada mereka tetapi hendaklah takut kepada Allah.
Selanjutnya dalam ayat ini dijelaskan lagi tentang sesuatu yang penting bagi Nabi Muhammad saw dan bagi seluruh umat Islam, bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam dan telah mencukupkan nikmat-Nya, serta telah rida agama Islam menjadi agama umat manusia.
Setelah ayat ini dibacakan oleh Nabi, maka Umar menangis lalu Nabi bertanya apa yang menyebabkan ia menangis. Umar menjawab, "Sesuatu yang sudah sempurna tidak ada yang ditunggu lagi kecuali kurangnya." Rasulullah membenarkan ucapan Umar itu (Riwayat Ibnu Jarir dan Harun bin Antarah dari ayahnya ). Diriwayatkan bahwa ayat ini turun di Arafah tanggal 9 Zulhijjah 10 H, hari Jumat sesudah asar. Sejarah telah mencatat: bahwa 81 hari sesudah turunnya ayat ini Nabi Muhammad saw pun wafat setelah menunaikan risalahnya selama kurang lebih 23 tahun. Memang ajaran Islam telah sempurna, walaupun segala persoalan belum dirinci, tetapi telah cukup sempurna dengan berbagai prinsip urusan duniawi maupun ukhrawi.
Kemudian pada akhir ayat ini diterangkan, bahwa orang-orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan Allah karena lapar tanpa niat untuk berbuat dosa, dibolehkan asal dia makan seperlunya saja, sekedar mempertahankan hidup. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kalimat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bangkai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya, hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.
Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.
Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab:
Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.
Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), menurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya.
Firman Allah Swt.:
...dan darah.
Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pengertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
atau darah yang mengalir. (Al An'am:145)
Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah darah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."
Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.
Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis), kemudian mereka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apakah hal yang melarangnya?" Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya:
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai dan darah., hingga akhir ayat.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisahnya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami tidak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan seseorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu terdapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu kepadaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak pernah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman tersebut."
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah mereguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu: "Maka aku (Sada) mendengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini dari kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguhkan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."
Firman Allah Swt.:
...dan daging babi.
Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak diperlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:
—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al An'am:145)
Dalam konteks firman-Nya:
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al An'am:145)
Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Padahal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (bahasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali kepada mudaf, bukan mudafilaih.
Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.
Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila memakan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau (Nabi Saw.) melarang kami memakan bangkai dan darah."
Firman Allah Swt.:
...(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.
Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung.
Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak menyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut kesepakatan semua.
Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan diterangkan nanti dalam tafsir surat Al-An'am.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. melarang (memakan daging) dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan hasil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding.
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya selain Ibnu Jarir tidak menyebutkan pada sanadnya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula.
Firman Allah Swt.:
...dan hewan yang tercekik.
Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati, maka hewan ini haram dagingnya.
Makna lafaz mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli dengan kayu hingga sekarat, lalu mati.
Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan buruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabda:
Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menusuknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu memakannya.
Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.
"Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab (welat bambu)'?" Rasulullah Saw. menjawab: Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian.
Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu minuman nabiz yang terbuat dari madu.
Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:
Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul kalim.
Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Karena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.
Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah dikecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan melalui sabdanya:
Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan kepada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.
Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika tidak demikian, berarti tidak muttasil (berkaitan). Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, sehingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakan:
Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.
Dalam hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu dengan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih, darahnya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis.
Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya (kayunya), tidak boleh dimakan, jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah anjing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diinterpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempunyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, sekalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib mengartikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama, hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal (pokok) mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyeluruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi masalah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibunuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah (yakni terpukul olehnya). Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan mati karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak bertentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula.
Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan:
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al Maidah:4)
Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adakalanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya.
Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"
Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memisahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengatakan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat membolehkan hal yang diperselisihkan (kehalalannya) melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dilarang menurut kebanyakan ulama.
Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan:
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian.
Tidak mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan dikhususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dikecualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh dimakan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak dikenal.
Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya, maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai.
Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengatakan:
Diharamkan bagi kalian bangkai., hingga akhir ayat
bersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang memasukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.:
Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al Maidah:4), hingga akhir ayat.
Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut.
Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat (yang baik-baik). Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengertian yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana hewan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim.
Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buruan yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal.
Jika ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum berburu memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal, dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya dengan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan deraan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui haramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpukul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati karena tertanduk.
Mengenai masalah berburu memakai anak panah (tombak), adakalanya si pelempar (pemburu) melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci.
Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabda:
Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menangkap buruan untuk dirinya sendiri (bukan untuk tuan yang melepaskannya).
Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum yang disebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. Demikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya.
Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pemburunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-temannya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw.
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburu:
Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menyebutkan nama Allah, maka makanlah (hasil buruannya), sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan (pulalah) apa yang kamu tarik dengan tanganmu.
Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.
Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa (yaitu Al-Lahuni), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yakni At-Tahii). dari Abu Iyas (yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah), dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terhadap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia memakan sisanya.
Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf.
Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan lain-lainnya.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pemburu memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena lapar dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa (halal), demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Karena dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing tersebut menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap hewan buruannya, dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri.
Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama, dan tidak haram, menurut ulama lainnya.
Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu.
Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh anjing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara keduanya.
Yang dimaksud dengan mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak halal.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas bukit.
Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur.
As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu mati.
Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya.
Natihah ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni (hewan yang ditanduk).
Bentuk lafaz ini kebanyakan di kalangan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun (mata yang bercelak), kaffun khadibun (tangan yang memakai pacar). Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah (jalan yang panjang).
Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk menunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dimengerti dari permulaan pembicaraan.
Firman Allah Swt.:
...dan yang diterkam binatang buas.
Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya, dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan.
Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. mengharamkan hal itu bagi kaum mukmin.
Firman Allah Swt.:
...kecuali yang sempat kalian menyembelihnya,
Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pengembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, sedangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang stabil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya:
hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas.
Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
...Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya.,
Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyembelihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka makanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik (saat kalian menyembelihnya), maka makanlah hewan itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim dan Abbad, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keadaan masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakangnya, maka makanlah hewan tersebut."
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kambing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"
Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan punggungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?"
4 Tafsir Al-Jalalain
(Diharamkan bagimu bangkai) yakni memakannya (darah) yang mengalir seperti pada binatang ternak (daging babi, hewan yang disembelih karena selain Allah) misalnya disembelih atas nama lain-Nya (yang tercekik) yang mati karena tercekik (yang dipukul) yang dibunuh dengan jalan memukulnya (yang jatuh) dari atas ke bawah lalu mati (yang ditanduk) yang mati karena tandukan lainnya (yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih) maksudnya yang kamu dapati masih bernyawa dari macam-macam yang disebutkan itu lalu kamu sembelih (dan yang disembelih atas) nama (berhala) jamak dari nishab; artinya patung (dan mengundi nasib) artinya menentukan bagian dan keputusan (dengan anak panah) azlaam jamak dari zalam atau zulam; artinya anak panah yang belum diberi bulu dan ujungnya tidak bermata. Anak panah itu ada tujuh buah disimpan oleh pengurus Kakbah dan padanya terdapat tanda-tanda. Maka tanda-tanda itulah yang mereka ambil sebagai pedoman, jika disuruh mereka lakukan dan jika dilarang mereka hentikan. (Demikian itu adalah kefasikan) artinya menyimpang dari ketaatan. Ayat ini turun pada hari Arafah masa haji wadak, yaitu haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. (Pada hari ini orang-orang kafir telah putus-asa terhadap agamamu) untuk mengembalikan kamu menjadi murtad setelah mereka melihat kamu telah kuat (maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah pada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu) yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya (dan telah Kucukupkan padamu nikmat karunia-Ku) yakni dengan menyempurnakannya dan ada pula yang mengatakan dengan memasuki kota Mekah dalam keadaan aman (dan telah Kuridai) artinya telah Kupilih (Islam itu sebagai agama kalian. Maka siapa terpaksa karena kelaparan) untuk memakan sesuatu yang haram lalu dimakannya (tanpa cenderung) atau sengaja (berbuat dosa) atau maksiat (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadapnya atas perbuatan memakannya itu (lagi Maha Pengasih) kepadanya dalam memperbolehkannya. Berbeda halnya dengan orang yang cenderung atau sengaja berbuat dosa, misalnya penyamun atau pemberontak, maka tidak halal baginya memakan itu.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Hai orang-orang yang beriman, diharamkan bagi kalian memakan daging bangkai (binatang yang mati dengan tidak disembelih), darah yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, binatang yang mati tercekik, binatang yang mati dipukul, binatang yang mati karena jatuh, binatang yang mati ditanduk oleh binatang lain, dan binatang yang mati dimakan binatang buas. Tetapi jika binatang itu masih hidup dan halal untuk dimakan, lalu kamu menyembelihnya, maka binatang itu halal. Allah mengharamkan kepada kalian binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada berhala, mengetahui sesuatu yang telah ditentukan di alam gaib dengan cara undian dengan melempar anak panah. Memakan makanan yang telah diharamkan Allah itu adalah dosa besar dan merupakan sikap tidak patuh kepada Allah. Mulai sekarang telah pupus harapan orang kafir untuk menghapus agama kalian. Maka, jangan khawatir mereka akan dapat menguasai kalian, dan jangan berani melanggar perintah-Ku. Hari ini Aku sempurnakan hukum-hukum agama, Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian dengan memberikan kejayaan dan menguatkan pendirian kalian, dan Aku jadikan Islam sebagai agama kalian. Barangsiapa terpaksa memakan makanan yang diharamkan Allah karena alasan lapar dan demi mempertahankan diri dari kematian, dengan tidak cenderung berbuat maksiat, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni orang yang terpaksa atas makanan yang dimakannya demi mempertahankan hidup. Allah Maha Penyayang kepadanya dalam hal-hal lain yang dibolehkan(1). (1) Kematian binatang dapat disebabkan oleh ketuaan, penyakit organik, parasit, atau karena terkena racun luar yang, dengan sendirinya, mengakibatkan daging binatang itu mengandung zat yang membahayakan pemakannya. Lebih dari itu, binatang yang mati bukan karena disembelih, darahnya akan mengalami pemacetan. Keadaan seperti itu dapat berlangsung lama dan sulit diketahui dengan pasti, sehingga dapat mengakibatkan disolusi dan kerusakan. Darah merupakan saluran yang mengandung seluruh zat metabolis (asimilasi) yang sebagiannya bermanfaat dan yang lain berbahaya. Zat yang membahayakan itu dapat merusak anggota tubuh yang dapat menghilangkan dan mengeluarkan racun yang ada dalam tubuh. Selain itu, di dalam darah juga terdapat racun yang dikeluarkan oleh hewan-hewan parasit dalam tubuh. Di antara hewan parasit yang hidup dalam tubuh manusia itu banyak yang melalui beberapa fase, ada yang panjang dan ada juga yang pendek. Karena alasan-alasan itulah, terutama, memakan darah diharamkan. Sedangkan babi merupakan binatang yang mudah terserang hewan parasit yang menyerang tubuh manusia seperti berbagai virus, sporadis, leptoseri dan protozoa, cacing pipih dan cacing gelang. Di antara parasit yang paling berbahaya adalah: a. Hewan ciliata yang diberi nama antidium-colay yang dapat menyebabkan disentri plantidi yang ganasnya sama dengan disentri amuba. Sumber satu-satunya penyakit ini adalah babi. Penyakit ini hanya akan menyerang orang yang memelihara dan menyembelih serta menjual-beli danging babi. b. Gelendong hati dan usus yang berjangkit di negara-negara Timur Jauh, khususnya gelendong usus besar yang banyak menyebar di Cina, gelendong usus kecil yang banyak berjangkit di Bangladesh, Burma dan Asam, dan gelendong hati yang banyak tersebar di Cina, Jepang dan Korea. Nah, babi merupakan binatang yang banyak menyimpan parasit-parasit ini. Oleh karena itu, pembasmian penyakit yang diakibatkan oleh parasit-parasit ini tidak dapat dilakukan hanya pada manusia penderita, tetapi juga harus sampai kepada sumber asalnya: babi. c. Cacing pita yang ada dalam tubuh babi. Sel telur cacing ini berpindah dari manusia kepada babi yang melahirkan cacing ganda dalam daging babi. Cacing itu kemudian berpindah lagi kepada manusia yang memakan daging babi dan cacing pita yang hidup dan berkembang di dalam usus. Pada dasarnya penyakit ini tidak begitu berbahaya, karena hampir sama dengan cacing pita yang terdapat dalam daging sapi. Tetapi cacing pita yang terdapat dalam daging babi sangat berbeda dengan cacing pita yang ada dalam daging sapi. Apabila sel telur cacing itu tertelan oleh manusia melalui tangannya yang kotor, atau melalui makanan yang kotor, atau apabila ia memotong bagian cacing yang mengandung telur, atau memotong telur cacing dari ususnya hingga telur itu pecah dan larvanya mengena bagian otot yang bersangkutan, maka hal itu kemungkinan besar menyebabkan kematian apabila menyerang otak, urat saraf, atau hati dan organ penting lainnya. Penyakit berbahaya seperti ini hampir tidak kita dapatkan di negara-negara Islam, karena Islam telah mengharamkan memakan daging babi. d. Cacing berbentuk spiral. Terjangkitnya seseorang dengan cacing spiral yang larvanya berceceran pada otot-ototnya akan menyebabkan penyakit yang sangat berbahaya, seperti rematik, sulit mengunyah dan bernafas serta menggerakkan mata, radang otak dan jaringan urat saraf serta radang selaput otak. Penyakit urat saraf dan otak yang menyebabkan keracunan, stress dan komplikasi. Jika seseorang terkena penyakit yang mematikan ini, ia akan meninggal dunia dalam jangka waktu antara empat sampai enam minggu. Dan babi adalah penyebab utamanya. Penyakit ini banyak menyebar di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Sedangkan di dunia Islam, alhamdulillah, penyakit seperti ini tidak banyak berjangkit. Usaha untuk mencegah berjangkitnya penyakit ini dilakukan dengan cara memelihara babi secara sehat dan pengobatan secara medis terhadap daging babi. Tetapi itu semua tidak membuahkan hasil. Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah salah satu dari tiga negara terbesar di dunia yang terjangkit penyakit ini, mencapai 16%. Jumlah ini sangat jauh dari yang sebenarnya. Di negara-negara bagian Amerika Serikat persentase berjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh babi ini berkisar antara 5%-27%. Selain itu, lemak minyak babi sangat berbeda dengan minyak nabati dan lemak hewani lainnya. Oleh karena itu, kelayakan daging babi untuk digunakan sebagai bahan makanan sangat diragukan sebagian besar ahli. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Ram, seorang ahli kimia dari Denmark yang memperoleh hadiah nobel, bahwa seseorang tidak boleh banyak mengkonsumsi minyak babi karena akan menyebabkan penyakit empedu dan menutupi salurannya, pengerasan urat nadi dan penyakit jantung. Perlu disebutkan di sini bahwa jumhûr (mayoritas) ahli hukum Islam mengartikan kata "lahm" sebagai 'daging', termasuk 'lemak'. Sedangkan soal hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, dan hewan yang yang disembelih dengan nama berhala, berkaitan dengan persoalan ibadah. Sedang hewan yang mati tercekik, terpukul, mati ditanduk dan diterkam binatang buas, mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan bangkai, meskipun sebab kematiannya berbeda.