Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak, kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya.
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.
Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).