وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِكُمْ ۗ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ وَّلَا مُتَّخِذٰتِ اَخْدَانٍ ۚ فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۗ وَاَنْ تَصْبِرُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ( النساء: ٢٥ )
Wa Man Lam Yastaţi` Minkum Ţawlāan 'An Yankiĥa Al-Muĥşanāti Al-Mu'umināti Famin Mā Malakat 'Aymānukum Min Fatayātikum Al-Mu'umināti Wa Allāhu 'A`lamu Bi'īmānikum Ba`đukum Min Ba`đin Fānkiĥūhunna Bi'idhni 'Hlihinna Wa 'Ātūhunna 'Ujūrahunna Bil-Ma`rūfi Muĥşanātin Ghayra Musāfiĥātin Wa Lā Muttakhidhāti 'Akhdānin Fa'idhā 'Uĥşinna Fa'in 'Atayna Bifāĥishatin Fa`alayhinna Nişfu Mā `Alaá Al-Muĥşanāti Mina Al-`Adhābi Dhālika Liman Khashiya Al-`Anata Minkum Wa 'An Taşbirū Khayrun Lakum Wa Allāhu Ghafūrun Raĥīmun. (an-Nisāʾ 4:25)
Artinya:
Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. [4] An-Nisa' : 25)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Dan barang siapa di antara kamu, wahai kaum muslim, yang tidak mempunyai biaya yang dapat dipergunakan sebagai perbelanjaan untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang bukan kamu miliki tetapi dimiliki oleh saudaramu sesama muslim. Allah mengetahui keimanan yang ada dalam hati-mu sekalian. Janganlah kamu selalu mempersoalkan masalah keturunan, karena sebagian dari kamu adalah saudara dari sebagian yang lain sama-sama keturunan Adam dan Hawa.
Karena itu, bila kamu benar-benar tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka, maka nikahilah mereka, yakni perempuan-perempuan hamba sahaya itu, dengan izin tuan yang memiliki-nya dan berilah mereka maskawin yang pantas sesuai dengan yang berlaku di kalangan masyarakat dan kondisi hamba sahaya pada waktu itu, yang tidak memberatkan kamu dan tidak pula merugikan si perempuan dan tuannya, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kesucian diri mereka, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya yang mereka sembunyikan.
Apabila mereka telah berumah tangga atau bersuami, tetapi masih saja melakukan perbuatan keji dengan berbuat zina yang terbukti secara hukum, maka berilah hukuman bagi mereka yang besarnya setengah dari apa, yakni hukuman perempuan-perempuan yang merdeka dan bersuami. Kebolehan menikahi hamba sahaya itu adalah izin bagi orang-orang yang takut terjatuh terhadap kesulitan dalam upaya menjaga diri dari perbuatan zina. Tetapi jika kamu bersabar dengan cara menahan diri agar tidak berzina atau menikahi hamba sahaya, itu lebih baik bagimu daripada menikahi mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Dari permulaan surah an-Nisa sampai ayat 25 diperlihatkan gambaran kehidupan transisi masa jahiliyah dengan masa permulaan Islam. Pertama, soal pemilikan harta anak yatim oleh kerabat dari pihak bapak, kedua, laki-laki yang dapat mengawini perempuan dalam jumlah istri yang tanpa batas dibatasi menjadi empat istri, dan ketiga, masalah keluarga dan perbudakan, terutama budak perempuan. Waktu itu perbudakan yang sudah melembaga di seluruh dunia, tidak terkecuali di Semenanjung Arab masa jahiliyah, memang sangat subur. Secara bertahap semua penyakit masyarakat ini harus diubah, dan inilah yang sudah dimulai pada masa permulaan Islam, seperti yang dapat kita lihat dalam ayat-ayat di atas. Al-Qur'an telah merekam peristiwa-peristiwa yang berlaku waktu itu, dan ini perlu, karena ajaran Islam dalam masalah ini menghapus perbudakan dalam bentuk apa pun (2: 177, 9: 60), dicontohkan oleh Nabi yang telah membebaskan budak-budak yang ada padanya, oleh Abu Bakar as-Siddiq yang telah membeli 7 orang budak dari tuannya lalu dibebaskan sebagai orang merdeka, termasuk Bilal (lihat tafsir 92: 17-18). Dalam zakat, asnaf ke-5 penerimaan zakat dapat digunakan untuk memerdekakan budak.
Menikah dengan seorang perempuan yang merdeka, menuntut syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak suami, seperti memberi mahar, nafkah dan sebagainya. Maka jika seseorang tidak mempunyai biaya dan nafkah yang cukup untuk menikahi seorang perempuan merdeka yang beriman, maka dia dibolehkan menikahi hamba sahaya yang beriman.
Orang yang menikah dengan hamba sahaya biasanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik di dalam masyarakat, bahkan tidak jarang mendapat ejekan dan cemoohan. Apabila orang yang menikah dengan hamba sahaya memperlakukan dengan baik serta sabar menahan cemoohan dan ejekan, selama dia melayarkan bahtera rumah tangganya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Semua ketentuan ini sebagai lanjutan ayat sebelumnya, tidak lepas dari peristiwa perang yang terjadi waktu itu dengan segala akibatnya sehingga tawanan-tawanan perang dalam hal tertentu dapat dijadikan budak belian dan hamba sahaya, seperti yang sudah menjadi ketentuan dunia waktu itu. Apa yang telah direkam dalam Al-Qur'an memperlihatkan kepada kita betapa buruknya kondisi masyarakat itu, masyarakat jahiliyah. Selain hamba sahaya yang sudah melembaga begitu mendalam dalam masyarakat, ditambah lagi dengan ketentuan, bahwa setiap tawanan perang harus menjadi budak baru. Secara berangsur masalah sosial demikian yang sudah dianggap wajar dalam masyarakat harus diubah. Dalam hal ini perubahan tentu tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. Salah satunya dengan cara menebus atau membeli budak-budak itu lalu dimerdekakan, dan orang beriman harus berusaha untuk itu, seperti yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an tersebut di atas. Dengan demikian segala macam kelas sosial, terutama perbudakan harus dihapus, dan martabat manusia harus dikembalikan kepada fitrahnya. Manusia dilihat hanya dari ketakwaannya (49: 13). Dalam masyarakat Muslim tidak boleh ada perbudakan, termasuk penjajahan.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah SWT:
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya.
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
...untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.
Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An Nisaa:25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.
maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki.
Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang beriman.
Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.
Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:
Allah mengetahui keimanan kalian, sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain.
Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.
Firman Allah SWT:
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya.
Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya, seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan wali dari budak lelakinya, seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:
siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.
Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:
Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.
Firman Allah SWT:
dan berilah mas kawinnya menurut yang patut.
Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka dengan cara yang makruf, dengan kerelaan hati kalian, dan janganlah kalian mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena mereka adalah budak-budak perempuan yang dimiliki.
Firman Allah SWT:
yang memelihara kehormatannya.
Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
bukan pezina.
Yang dimaksud dengan musafihat ialah wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat keji terhadap dirinya.
Firman Allah SWT:
dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat mesum terhadap dirinya.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan firman-Nya:
...dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Yakni laki-laki piaraan.
Hal yang sama dikatakan menurut riwayat Abu Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi, mereka semuanya mengatakan, yang dimaksud adalah laki-laki piaraan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai temannya.
Ad-Dahhak pernah pula mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
...dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya
Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki yang ia setujui (yakni kumpul kebo). Allah Swt. melarang hal tersebut, yakni mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan demikian.
Firman Allah SWT:
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna, sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim.
Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna, pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:
Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Saddi.
Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati'.
Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma' kebanyakan ahlul 'ilmi."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini sebuah hadis marfu'. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin. (An Nisaa:25) pernah bersabda menafsirkannya:
Ihsan seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka (budak-budak wanita yang berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadis ini munkar.
Menurut kami, dalam sanad hadis ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya, hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan).
Al-Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin.
Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya.
Pendapat ini dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam Syafii.
Lais ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka, dan sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.
Menurut pendapat lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahui— bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat Allah Swt. telah berfirman:
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki.
Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman. Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-Lainnya.
Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafirah, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak.
Analisis mereka sehubungan dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti penjelasan berikut:
Pertama, menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa makna yang tersirat lebih diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat.
Banyak hadis yang mengandung makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami prioritaskan ketimbang makna yang tidak tersirat.
Antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali r.a., bahwa ia pernah berkhotbah, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah Saw. melakukan perbuatan zina, maka beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk menderanya. Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda:
'Tindakanmu baik, biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''."
Menurut riwayat Abdullah ibnu Ahmad, dari selain ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
Apabila dia telah bebas dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.
Dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina lagi untuk kedua kalinya, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan zinanya terbukti, hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai dengan) seutas tali bulu.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
Apabila si budak berbuat zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat kalinya.
Malik telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu Rabi'ah Al-Makhzumi yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy. Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak lima puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.
Kedua, menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya, melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu riwayat darinya.
Pegangan mereka adalah makna yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan. Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih diprioritaskan oleh mereka daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia masih belum kawin. Maka beliau Saw. menjawab:
Jika ia berbuat zina, maka had-lah dia oleh kalian, kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia, kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.
Ibnu Syihab mengatakan, "Aku tidak mengetahui ada yang ketiga atau yang keempat kalinya." Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain.
Menurut riwayat Imam Muslim, Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas tali.
Mereka mengatakan bahwa di dalam hadis ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya, yaitu separo dari hukuman wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan pengertian ayat dengan hadis ini.
Dalil lain yang lebih jelas daripada hadis di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur dari Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada hukuman terhadap budak wanita sebelum kawinnya, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separo hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).
Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafaz yang sama secara marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadis ini keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi melalui hadis Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni bukan marfu').
Mereka mengatakan bahwa hadis Ali dan Umar membahas masalah a'yan, sedangkan terhadap hadis Abu Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:
Pertama, bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan antara hadisnya dengan hadis ini.
Kedua, ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: Maka hendaklah ia menegakkan hukuman had terhadapnya. merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi, sebagai buktinya ialah ada pada jawaban yang ketiga. Yaitu bahwa hadis ini bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendiri. Hadis yang berasal dari dua orang itu jelas lebih diutamakan daripada hadis yang hanya berasal dari satu orang saja.
Selain itu Imam Nasai meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadis Abbad ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Apabila budak wanita berbuat zina, maka deralah dia oleh kalian, kemudian jika ia berzina lagi, maka deralah pula dia oleh kalian, kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah pula ia oleh kalian, kemudian jika ia berbuat zina lagi. maka juallah dia, sekalipun dengan harga seutas tali.
Ketiga, tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafaz had dalam hadis ini dengan maksud hukuman dera, karena ketika yang disebutkan adalah hukuman dera, maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan lafaz had dengan maksud hukuman ta'zir.
Perihalnya sama dengan sebutan had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat zina, yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian, seperti Imam Ahmad dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
Sesungguhnya hukuman had yang hakiki ialah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Lut.
Ibnu Majah meriwayatkan —juga lbnu Jarir— di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina selagi ia belum kawin." Sanad asar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
Merupakan pendapat yang aneh jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari mafhum ayat ini dan belum sampai kepadanya hadis mengenai hal tersebut. Jika dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya dalam masalah ini.
Ayat ini (An Nisaa:25) menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai hukuman had separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka. Jika ia berbuat zina sebelum ihsan, maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An Nuur:2)
Hadis Ubadah ibnus Samit mengatakan:
Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka, orang yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Imam Muslim, dan hadis-hadis lainnya. Pendapat ini dikenal bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini sangat lemah, karena bilamana Allah Swt. telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin dengan hukuman dera separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia melakukan zina sebelum kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.
Nabi Saw. sendiri ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang hukum budak wanita yang berbuat zina, sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi Saw. menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka sengaja bertanya kepada Nabi Saw. karena tidak ada penjelasan hukum seratus kali dera terhadap budak-budak wanita yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak demikian pengertiannya, apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada perbedaan di antara keduanya (yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya ayat ini belum diturunkan.
Tetapi mengingat mereka mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang lainnya, lalu Nabi Saw. menjelaskan hal tersebut kepada mereka. Perihalnya sama dengan pengertian sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang melakukan salawat buat Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menerangkannya kepada mereka, kemudian beliau bersabda kepada mereka:
Dan mengenai salam adalah seperti apa yang telah kalian ketahui.
Menurut lafaz yang lain, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Al Ahzab:56)
Para sahabat bertanya, "Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah bersalawat untukmu?" Hingga akhir hadis. Demikian pula maksud pertanyaan yang terkandung pada hadis di atas.
Mengenai mafhum ayat, dikemukakan oleh Abu Saur. Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang dikemukakan oleh Daud ditinjau dari berbagai seginya. Dikatakan demikian karena ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka yang telah kawin, yaitu hukuman rajam, padahal hukuman rajam itu tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus dikenai hukuman rajam. Sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali."
Ternyata Abu Saur keliru dalam memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum masalah ini. Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum muslim tidak ada yang memperselisihkan bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap budak dalam masalah zina.
Demikian itu karena ayat ini menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafaz al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya:
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.
Yang dimaksud adalah wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka. Firman Allah Swt. yang mengatakan ‘separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An Nisaa:25) menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo (dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali ibnu Abu Talib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu anak bagi firasy, sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing sebanyak lima puluh kali deraan.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat. Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah, dan sesungguhnya hukuman had yang mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua keadaan berdasarkan sunnah.
Pendapat ini dikatakan oleh penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami mengambil kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila bukan dari ayat"'
Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separo hukuman had orang merdeka.
Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu. Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya.
Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun yang belum kawin." Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu:
Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.
Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti penjelasan berikut:
Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang, ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separo hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab Imam Syafii.
Menurut Imam Abu Hanifah, pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka, jika ia melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya, dan jika ia melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak wanita yang bersangkutan.
Menurut Imam Malik, sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki (yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan citra memelihara kehormatannya, dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak wanita.
Memang sehubungan dengan masalah ini ada hadis Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan ialah adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si terpidananya adalah wanita.
Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai hukuman ta'zir bila ia belum kawin.
Dalam pembahasan di atas disebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama dengan pendapat yang kedua.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.
Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula, hanya Allah yang mengetahui pendapat yang benar.
Firman Allah SWT:
Yang demikian itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian.
Sesungguhnya diperbolehkan mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas, hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya kepayahan. Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila ia terpaksa mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing, maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul qadim Imam Syafii.
Firman Allah SWT:
dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat ini jumhur ulama menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan syarat bila lelaki yang bersangkutan tidak mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan menimbulkan mafsadat bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.
Imam Abu Hanifah dan semua muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum pernah kawin dengan wanita merdeka, diperbolehkan baginya mengawini budak perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut terjerumus ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada pengaruhnya.
Dalil yang menjadi pegangan mereka (jumhur ulama) ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya, pengertiannya umum mencakup wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan siapa yang tidak cukup biayanya untuk mengawini wanita-wanita merdeka) bukan budak (lagi beriman) ini yang berlaku menurut kebiasaan sehingga mafhumnya tidak berlaku (maka hamba sahaya yang kamu miliki) yang akan dikawininya (yakni dari golongan wanita-wanita kamu yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu) maka cukuplah kamu lihat lahirnya saja sedangkan batinnya serahkanlah kepada-Nya karena Dia mengetahui seluk-beluknya. Dan berapa banyaknya hamba sahaya yang lebih tinggi mutu keimanannya daripada wanita merdeka; ini merupakan bujukan agar bersedia kawin dengan hamba sahaya (sebagian kamu berasal dari sebagian yang lain) maksudnya kamu dan mereka itu sama-sama beragama Islam maka janganlah merasa keberatan untuk mengawini mereka (karena itu kawinilah mereka dengan seizin majikannya) artinya tuan dan pemiliknya (dan berikanlah kepada mereka upah) maksudnya mahar atau maskawin mereka (secara baik-baik) tanpa melalaikan atau menguranginya (sedangkan mereka pun hendaknya memelihara diri) menjadi hal (bukan melacurkan diri) atau berzina secara terang-terangan (serta tidak pula mengambil gundik) selir untuk berbuat zina secara sembunyi-sembunyi. (Maka jika mereka telah menjaga diri) artinya dikawinkan; dalam suatu qiraat dibaca ahshanna artinya telah kawin (lalu mereka melakukan perbuatan keji) maksudnya berzina (maka atas mereka separuh dari yang berlaku atas wanita-wanita merdeka) yakni yang masih perawan jika mereka berzina (berupa hukuman) atau hudud yaitu dengan didera 50 kali dan diasingkan setengah tahun. Dan kepada mereka ini dikiaskan hukuman bagi budak lelaki. Dan kawinnya hamba sahaya itu tidaklah dijadikan syarat untuk wajibnya hukuman, tetapi hanyalah untuk menunjukkan pada dasarnya mereka itu tidak menerima hukum rajam. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkannya mengawini hamba sahaya sewaktu tak ada biaya itu (ialah bagi orang yang takut akan berzina) `anat artinya yang asli ialah masyaqqat atau kesulitan. Dinamakan zina demikian ialah karena dialah yang menyebabkan seseorang menerima hukuman berat di dunia dan siksa pedih di akhirat (di antara kamu). Ini berarti berbeda bagi orang yang tidak merasa khawatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan, maka tidak halal baginya mengawini hamba sahaya itu. Demikian pula orang yang punya biaya untuk mengawini wanita-wanita merdeka. Pendapat ini juga dianut oleh Syafii. Hanya dalam firman Allah, "... di antara wanita-wanitamu yang beriman," menurut Syafii tidak termasuk wanita-wanita kafir sehingga tidak boleh kawin walau ia dalam keadaan tidak mampu dan takut dirinya akan jatuh dalam perbuatan maksiat. (Dan jika kamu bersabar) artinya tidak mengawini hamba sahaya (itu lebih baik bagi kamu) agar kamu tidak mempunyai anak yang berstatus budak atau hamba sahaya. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) dengan memberikan kelapangan dalam masalah itu.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Barangsiapa di antara kalian tidak mampu menikahi wanita merdeka yang beriman, maka ia boleh mengawini budak wanita beriman. Allah paling mengetahui hakikat keimanan dan keikhlasan kalian. Dan janganlah kalian segan untuk mengawini mereka karena, dalam pandangan agama, kalian dan mereka tidak berbeda. Kawinilah mereka dengan izin tuannya. Berilah mahar yang telah kalian tentukan sesuai dengan perjanjian yang kalian sepakati untuk bergaul dengan baik. Pilihlah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, bukan pezina dan bukan pula gundik. Jika setelah dinikahi mereka melakukan zina, maka hukuman mereka separuh hukuman wanita merdeka. Menikahi budak wanita dalam kondisi tidak mampu, diperbolehkan bagi orang yang khawatir akan mengalami kesulitan yang mengarah kepada perbuatan zina. Kesabaran kalian dalam menikahi budak wanita yang selalu menjaga kehormatan adalah lebih baik. Ampunan Allah amat luas dan kasih sayang-Nya amat besar.