Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak yang kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka bila terlebih dahulu kalian meng-istibra' -kan (membersihkan rahim) mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan, "Kami pernah memperoleh tawanan perang dari tawanan Perang Autas, sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw., dan turunlah firman-Nya:
...dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki '
Maka kami menghalalkan farji mereka."
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Asy'as ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah menerima hadis ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id Al-Khudri.
Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka. Maka turunlah ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya:
...dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan Syu'bah menambahkan bahwa Imam Turmuzi meriwayatkannya dari hadis Hammam ibnu Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Qatadah berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.”Aku merasa yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadis ini kecuali apa yang diutarakan oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut Imam Turmuzi. Ternyata hal ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah.
Imam Tabrani meriwayatkan melalui hadis Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan Perang Khaibar, lalu Tabrani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu Sa'id.
Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah budak perempuan yang dijual, sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami. Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah membacakan firman-Nya:
...dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim, dari ibnu Mas'ud yang telah mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya." Asar ini munqati'.
Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa budak perempuan apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah orang yang lebih berhak terhadap farjinya.
Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b, Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Khulaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan ada enam (lima) perkara, yaitu: Menjualnya berarti menceraikannya, memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti menceraikannya, meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya berarti menceraikannya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan dengan firman -Nya:
...dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami.
Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai suami, Allah mengharamkan mengawini mereka, kecuali budak-budak yang dimiliki olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya. Ma'mar mengatakan bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya:
...dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki.
Apabila budak wanita mempunyai suami. lalu dijual, maka menjualnya sama dengan menceraikannya dari suaminya.
Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya.
Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, mereka berpendapat bahwa menjual budak perempuan bukan berarti menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual sejak semula telah dikecualikan dari pemilikannya manfaat ini, lalu ia menjual si budak yang memegang manfaat ini.
Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada hadis Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya. Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu memerdekakannya, sedangkan nikah Barirah dengan suaminya —Mugis— tetap utuh, tidak fasakh, melainkan Rasulullah Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup terkenal.
Disimpulkan dari hadis di atas, seandainya menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang dikatakan mereka, niscaya Nabi Saw. tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata Nabi Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap, hal ini berarti menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja.
Barangkali dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An Nisaa:24) Yakni wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki pegangannya melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali, seorang, dua orang, tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.
Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An Nisaa:24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian (kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan, pent.).
Firman Allah SWT:
...sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian.
Pengharaman ini adalah hukum Allah yang ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang dari hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.
Ubaidah, Ata, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman -Nya:
...sebagai ketetapan Allah atas kalian.
Yakni empat orang istri.
Ibrahim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An Nisaa:24) Yaitu hal-hal yang diharamkan atas kalian.
Firman Allah SWT:
Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.
Selain dari wanita-wanita mahram yang telah disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut Ata dan lain-lainnya.
Ubaidah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.
Selain dari empat orang istri. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Ata tadi.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.
Yaitu budak-budak wanita yang kalian miliki.
Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah bagi orang yang mengatakan halal menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah. Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.
Firman Allah SWT:
...(yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina.
Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui jalan yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: untuk kalian kawini, bukan untuk berzina.
Firman Allah SWT:
Maka istri-istri yang telah kalian gauli di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.
Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
Sama dengan makna firman-Nya:
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An Nisaa:4)
Seperti firman Allah Swt.:
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al Baqarah:229)
Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh.
Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu diperbolehkan lagi dan akhirnya dimansukh lagi, pe-nasikh-an terhadapnya terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan sekali, kemudian dimansukh dan tidak diperbolehkan lagi sesudahnya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat. Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Saddi membaca ayat ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut:
Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka —sampai dengan batas waktu tertentu— berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nikah mut'ah.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak demikian. Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Mu’minun Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan:
Rasulullah Saw. melarang nikah mut'ah dan (memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar.
Hadis ini mempunyai banyak lafaz dan ungkapan, yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang membahas masalah hukum).
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah berperang bersama-sama Rasulullah Saw. pada hari penaklukan atas kota Mekah. Maka beliau Saw. bersabda:
Hai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.
Juga di dalam riwayat lain bagi Imam Muslim dalam kisah haji wada', hadis ini diungkapkan dengan berbagai lafaz, yang pembahasannya berada di dalam kitab-kitab fiqih.
Firman Allah SWT:
...dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan mengatakan, "Tidak ada dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan (bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan imbalannya."
As-Saddi mengatakan, "Jika pihak lelaki menghendaki, boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati tubuhnya sebelum masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak habis. Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'dan tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan faridah itu'
As-Saddi mengatakan, "Apabila masa mut'ah habis, maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita bebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya. Untuk itu satu pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah terputus."
Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya:
Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An Nisaa:4)
Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan sebagian darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Miftamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari mereka ada yang mengalami kesulitan. Maka Allah Swt. berfirman, "Tidak mengapa bagi kamu, hai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan kepadamu sebagian dari maharnya, maka hal itu diperbolehkan bagimu." Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An Nisaa:24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi istri atau berpisah (cerai).
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.