Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak kalian yang perempuan: saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak kalian yang perempuan: saudara-saudara ibu kalian yang perempuan: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian: dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian
Mereka adalah mahram dari nasab.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna firman-Nya:
...dan anak-anak perempuan kalian.
Walaupun bagaimana keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'. Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firman-Nya: Allah telah menyariatkan bagi kalian tentang pembagian pusaka. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An Nisaa:11)
Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewaris menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini
Firman Allah Swt.:
Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian.
Sebagaimana diharamkan atas kamu mengawini ibu kamu yang telah melahirkanmu, maka diharamkan pula atas dirimu mengawini ibumu yang telah menyusukanmu.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.
Menurut lafaz Imam Muslim disebutkan:
Diharamkan karena persusuan hal-hal yang diharamkan karena nasab.
Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab. diharamkan pula karena hubungan persusuan, kecuali dalam empat gambaran. Sebagian dari mereka mengatakan enam gambaran. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu' (fiqih).
Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadis menurut kaidah asalnya.
Kemudian para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahih Muslin: melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali persusuan, juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Hadis riwayat Imam Muslim.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadis ini diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah. Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar. dan Sa'id ibnu Jubair.
Ulama lainnya berpendapat. tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadis yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya: Sepuluh kali persusuan yang telah dimaklumi dapat menjadikan mahram.Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang dimaklumi. Lalu Nabi Saw. wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca.
Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang semisal.
Di dalam hadis Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan.
Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya.
Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (Al Baqarah:233)
Kemudian para ulama berselisih pendapat kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain-lainnya: ataukah persusuan mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf. Semuanya dihubungkan dengan masalah ini ada dua pendapat. Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih.
Firman Allah Swt.:
ibu-ibu istri kalian (mertua kalian), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya.
Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun belum menggaulinya.
Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An Nisaa:23)
Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja. Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya: tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An Nisaa:23)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali r.a. sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali r.a. menjawab bahwa ibu si wanita itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Yahya. dari Qatadah. dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum mengaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya itu."
Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Sa’id, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum menggaulinya. jika ia suka boleh mengawini ibunya "
Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda", bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah mengatakan. Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang —tidak pula mengizinkan— aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
...ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.
Makna yang dimaksud ialah bila menggauli kedua-duanya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Mu’awiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini.
Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
Imam Tabrani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Abu Farwah. dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini seorang wanita. lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." lalu si lelaki menceraikan istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan akad nikah dengan ibunya. lain halnya dengan ibu, sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan. apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal baginya.
Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan sebagai hal yang makruh.
Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang sekarang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini persyaratan adanya persetubuhan ditetapkan.
Menurut kesepakatan hujah yang tidak dapat dibantah lagi, ditetapkan hal yang sama (yaitu adanya syarat bersetubuh).
Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang berpredikat garib mengenai hal tersebut dan di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadis itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini —sekalipun di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan— sesungguhnya menurut kesepakatan hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadis tersebut.
Firman Allah SWT:
...anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu.
Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang bersangkutan ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum pengertian apa pun. Perihalnya sama dengan firman-Nya:
Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian melakukan pelacuran. Sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An Nuur:33)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata:
"Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku. yaitu anak perempuan Abu Sufyan." - Menurut lafaz Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan - Nabi Saw. menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi Saw. Menjawab: ”Sesungguhnya hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. '"Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi Saw. bertanya: Anak perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan kalian, jangan pula saudara-saudara perempuan kalian. Menurut riwayat Imam Bukhari disebutkan seperti berikut: Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.
Dalam hadis ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau Saw. dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya dengan penyebab tersebut.
Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Talib bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Talib dengan syarat Muslim. Akan tetapi Pendapat ini garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu Hazm.
Guruku Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqi’ud Din Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya.
Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." ia bermaksud bahwa ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Asar ini munqati'.
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab.”Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesungguhnya Allah Swt. mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya:
...ibu-ibu istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri.
Milkul Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka.
Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
Firman Allah SWT:
...dari istri kalian yang telah kalian campuri.
Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang dimaksud dengan dukhlah ialah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama khalwat seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki. jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa si lelaki telah sampai kepada istrinya melalui jimak (hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami).
Firman Allah SWT:
...dan istri-istri anak kandung kalian (menantu)
Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka. (Al Ahzab:37), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata mengenai makna firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian. (An Nisaa:23) Kami pernah menceritakan —hanya Allah yang lebih mengetahui— bahwa ketika Nabi Saw. mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian. (An Nisaa:23), dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian. (Al Ahzab:4), Turun pula firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian. (Al Ahzab:40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian (An Nisaa:23) serta firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua). (An Nisaa:23)
Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli, maka hal tersebut menjadikan mahram hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Hal inilah yang telah disepakati.
Jika dikatakan bahwa dari segi apakah menjadi mahram istri anak sepersusuannya, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri).
Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
Diharamkan karena rada (persusuan) hal-hal yang diharamkan karena nasab.
Firman Allah SWT:
...dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau . hingga akhir ayat.
Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang. karena dikecualikan oleh ayat hal-hal yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia). (Ad Dukhaan:56)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama-lamanya (yakni mereka hidup kekal di dalamnya).
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam —baik yang terdahulu maupun yang sekarang— sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara. Maka Nabi Saw. memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadis ini dari Abu Wahb Al-Jusyani —Imam Turmuzi mengatakan bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya'—, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam Tumiuzi. lalu Nabi Saw. bersabda:
Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani. telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah. dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu kehendaki."
Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya menjadi nabi: semoga Allah melaknatnya.
Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah Swt. yang mengatakan: Kecuali budak-budak yang kamu miliki. (An Nisaa:24) Maka Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)."
Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf).
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab. dari Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari hadapan Usman r.a., lalu bersua dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat Nabi Saw. berkata, "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan. lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut. niscaya ia benar-benar akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. itu adalah Ali ibnu Abu Talib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang semisal dari Az-Zubair ibnul Awwam."
Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang le!aki dari sahabat Nabi Saw. —tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Aba Talib— tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu