Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas —Asy-Syaibani mengatakan bahwa hadis ini diketengahkan pula oleh Abul Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya tidak sekali-kali ia menuturkannya melainkan dari Ibnu Abbas— sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Ibnu Abbas mengatakan bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri istri si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka ia boleh mengawininya, dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya, dan jika mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh tidak mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri istri si mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan ayat ini. yaitu firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai'. wanita dengan jalan paksa.
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, Imam Abu Daud. Imam Nasai. Ibnu Murdawaih, dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ishaq Asy-Syaibani yang nama aslinya adalah Sulaiman ibnu Abu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Abul Hasan As-Sawa-i yang nama aslinya ialah Ata Kufi yang tuna netra, keduanya menerima hadis ini dari Ibnu Abbas, seperti yang telah disebutkan di atas.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Sabit Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku ali ibnu Husain, dari ayahnya. dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbbas sehubungan dengan firman-Nya:
...tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya, lalu ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal dunia atau (baru dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawinnya. Maka Allah memberikan ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang perbuatan itu.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, tetapi diriwayatkan pula oleh yang lain yang bukan hanya satu orang, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.
Waki' meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. lalu datanglah seorang lelaki yang melemparkan bajunya kepada si Wanita itu. Maka si lelaki tersebutlah yang lebih berhak terhadap diri wanita itu Lalu turunlah firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman. tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
Apabila seorang lelaki mati meninggalkan anak perempuan, maka kerabat terdekatnya melemparkan baju kepada si perempuan itu, maka dia berhak mencegahnya dikawini oleh orang lain. Jika si perempuan itu cantik dan ia suka, maka ia mengawininya, tetapi jika si perempuan bertampang tidak cantik, ia mengurungnya hingga mati, lalu ia mewarisinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila ada seorang kerabatnya yang meninggal dunia, maka ia melemparkan baju kepada istri si mayat. Dengan demikian, dialah yang mewarisi nikahnya dan tidak boleh orang lain menikahinya. Ia dapat saja mengurungnya di dalam rumah hingga istri si mayat membayar tebusan kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa dahulu penduduk Yasrib (Madinah) di masa Jahiliah, apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka yang mati, istrinya ikut diwaris oleh orang yang mewarisi hartanya. Lalu si pewaris menyusahkannya hingga ia mewarisi hartanya atau menikahkannya dengan orang yang ia kehendaki. Dahulu penduduk Tihamah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik hingga ia menceraikannya, tetapi dengan syarat 'hendaknya si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang disetujuinya, sebelum si istri membayar tebusan kepadanya dengan sebagian dari maskawin yang pernah diberikannya'. Maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anak lelakinya bermaksud mengawini istri (ibu tiri)nya. Hal ini di masa Jahiliah berlaku di kalangan mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
...tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad Ibnu Fudail dengan lafaz yang sama. Kemudian ia meriwayatkan pula melalui jalur Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ata pernah bercerita kepadanya, "Di masa lalu orang-orang Jahiliah itu apabila ada seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka si istri dikurung oleh keluarga si mayat dan dipaksa mengasuh seorang bayi yang ada di kalangan mereka (keluarga si mayat)." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya:
...tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan, Mujahid pernah mengatakan bahwa dahulu bila ada seorang lelaki meninggal dunia, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap istrinya. Dengan kata lain, ia boleh mengawininya jika si istri itu bukan ibunya, atau boleh pula menikahkannya dengan siapa yang disukai anaknya, baik dengan saudaranya ataupun anak saudaranya.
Ibnu Juraij mengatakan, Ikrimah pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kabisyah binti Ma'an ibnu Asim ibnul Aus yang suaminya (yaitu Abu Qais ibnul Aslat) meninggal dunia, lalu anak (tiri)nya mencintainya. Maka Kabisyah datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak dapat mewaris harta suamiku dan tidak pula dibiarkan nikah dengan orang lain." Maka Allah menurunkan ayat ini.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, bahwa dahulu di masa Jahiliah bila seorang wanita ditinggal mati suaminya, maka wali suaminya datang dan melemparkan baju kepadanya. Jika si mayat mempunyai seorang anak lelaki yang masih kecil atau seorang saudara laki-laki. maka si wali mengurung wanita itu hingga si anak dewasa atau si wanita itu mati. Lalu anak mewarisinya. Tetapi jika si wanita melarikan diri ke rumah keluarganya dan belum sempat dilempari baju, beratii ia selamat. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
...tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan ayat ini. bahwa dahulu ada seorang lelaki yang dalam asuhannya terdapat seorang anak yatim perempuan. sedangkan ia menjadi wali dari anak perempuan yatim itu, maka ia mengurungnya dengan harapan kalau istrinya mati nanti ia mengawininya, atau mengawinkannya dengan anak laki-lakinya sendiri. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, Ata ibnu Abu Rabah, Abu Mijlaz, Ad-Dahhak, Az-Zuliri, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan lial yang semisal.
Menurut kami ayat ini mengandung makna yang umum mencakup semua perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, juga mencakup apa yang disebut oleh Mujahid serta orang-orang yang mendukungnya serta semua perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan hal tersebut.
Firman Allah Swt.:
...dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.
Janganlah kalian dalam mempergauli mereka menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, atau mengambil sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada padamu, atau sesuatu dari hal tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan mudarat terhadap mereka.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
...dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena Artinya. janganlah kalian memaksa mereka. karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kalian berikan kepadanya.
Seorang lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak menyukainya, padahal dia telah membayar maskawin kepadanya. maka ia bersikap menyusahkan dirinya dengan tujuan agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin yang telah dibayarkan kepadanya dari dia. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh para ulama dan bukan hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl, dan lbnu Salmani yang menceritakan bahwa salali satu dari kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di zaman Jahiliah, sedangkan yang lainnya diturunkan berkenaan dengan apa yang terjadi di masa (permulaan) Islam. Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang dimaksud ialah firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An Nisaa:19) Yakni seperti yang biasa terjadi di masa Jahiliah. dan janganlah kalian menyusahkan mereka. (An Nisaa:19) Seperti yang terjadi pada jaman permulaan Islam.
Firman Allah Swt.:
...terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab. Asy-Sya'bi. Al-Hasan Al-Basri, Muhammad ibnu Sirin. Said ibnu Jubair. Mujahid. lkrimah, Ata Al-Khurraaani. Ad-Dahhak. Abu Qilabah, Abu Saleh, As-Saddi. Zaid ibnu Aslam. dan Sa'id ibnu Abu Hilal inengatakan, yang dimaksud dengan fahisyah atau perbuatan keji ini adalah perbuatan zina.
Dengan kata lain, bila si istri berbuat zina, maka kamu boleh mengambil kembali darinya maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya hingga ia membiarkan maskawin itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu. Seperti pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya:
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuasu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha watir tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum Allah. (Al Baqarah:229), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ad-Dahhak rnengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata adalah membangkang dan durhaka.
Sedangkan Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata mencakup semuanya, yakni zina dan durhaka, membangkang dan bermulut kotor. serta lain-lainnya. Dengan kata lain, reaksi seperti itu dari istri membolehkan pihak suami bersikap menyusahkannya agar si istri membebaskan seluruh haknya atau sebagiannya yang ada pada tanggungan suaminya, lalu si suami menceraikannya. Pendapat ini dinilai cukup baik.
Dalam pembahasan yang lalu terdapat sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid (menyendiri) melalui jalur Yazid An-Nahwi. dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak men-ambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. (An Nisaa:19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya yang meninggal dunia, lalu ia bersikap menyusahkannya hingga istri si mayat mati atau mengembalikan maskawin kepadanya. Maka Allah memutuskan perbuatan-tersebut, yakni melarangnya.
Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan. hal ini memberikan pengertian bahwa konteks seluruh ayat ini berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan di masa Jahiliah. Tetapi Allah melarang kaum muslim mengerjakannya dalam masa Islam.
Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, kebiasaan bersikap menyusahkan istri ini biasa dialami orang-orang Quraisy di Mekah. Seorang lelaki dari kalangan mereka mengawini seorang wanita yang terhormat. manakala terjadi pihak istri tidak cocok dengan suaminya itu. maka si suami mau menceraikannya dengan syarat bahwa si istri tidak boleh kawin lagi kecuali dengan seizinnya. Untuk itu pihak suami mendatangkan beberapa orang saksi, kemudian mencatat syarat tersebut atas diri si istri, lalu dipersaksikan. Bilamana datang seorang pelamar dan si istri memberi bekas suaminya serta membuatnya puas dengan jalan yang diterimanya. barulah bekas' suami mengizinkannnya.. Karena itu, maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An Nisaa:19). hingga akhir ayat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An Nisaa:19) Bahwa sikap menyusahkan dalam ayat ini semakna dengan pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah (ayat 229).
Firman Allah Swt.:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al Baqarah:228)
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian.
Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi Saw. dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, sering bermain dengan istrinya. dan bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau. Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya.
Siti Aisyah r.a. mengatakan adakalanya Rasulullah menang atas diriku dan adakalanya aku yang menang. demikian itu terjadi sebelum aku bertubuh gemuk. Setelah aku bertubuh gemuk dan mendahuluinya. maka beliau menyusulku seraya mengatakan : 'Kali ini sebagai balasan dari kekalahan yang tadi"."
Rasulullah Saw. selalu mengumpulkan semua istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau. lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka. Setelah itu masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir oleh beliau Saw.).
Nabi Saw. tidur dengan salah seorang istrinya dalam satu kemah, dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu tidur dengan memakai kain sarung.
Nabi Saw. bila telah melakukan salat Isya dan masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya sebelum tidur, hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Allah Swt. telah berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian ( Al-Ahzab 21)
Mengenai hukum-hukum mempergauli wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya, pembahasannya secara rinci dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang membahas masalah-masalah hukum (kitab-kitab fiqih).
Firman Allah Swt.:
...kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena barangkali kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Dengan kata lain, barangkali sikap sabar kalian memegang mereka tetap menjadi istri kalian —padahal kalian tidak suka kepada mereka— mengandung kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan akhirat.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu), maka pada akhirnya ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya itu ia mendapatkan kebaikan yang banyak.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
Seorang lelaki mukmin jangan membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya. maka ia senang dengan akhlaknya yang lain darinya.