Khitab (perintah) ini bersifat umum mencakup semua Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sealiran dengan mereka.
Katakanlah, "Hat Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat."
Definisi kalimat ialah sebuah jumlah (kalimat) yang memberikan suatu faedah (pengertian). Demikian pula yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat ini. Kemudian kalimat tersebut diperjelas pengertiannya oleh firman selanjutnya, yaitu:
...yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian.
Yakni kalimat yang adil, pertengahan, dan tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian mengenainya. Kemudian diperjelas lagi oleh firman selanjutnya:
...bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun.
Yaitu baik dengan berhala, salib, wasan, tagut, api atau sesuatu yang selain-Nya, melainkan kita Esakan Allah dengan menyembah-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Hal ini merupakan seruan yang dilakukan oleh semua rasul. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku." (Al Anbiyaa:25)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (An Nahl:36)
Adapun firman Allah Swt.:
...dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah.
Ibnu Juraij mengatakan, makna yang dimaksud ialah sebagian kita menaati sebagian yang lain dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Sedangkan menurut Ikrimah, makna yang dimaksud ialah sebagian kita bersujud kepada sebagian yang lain.
Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan did (kepada Allah)."
Yakni jika mereka berpaling dari keadilan ini dan seruan ini, hendaklah mereka mempersaksikan kalian bahwa kalian tetap berada dalam agama Islam yang telah disyariatkan oleh Allah untuk kalian.
Kami menyebutkan di dalam syarah Bukhari pada riwayatnya yang ia ketengahkan melalui jalur Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Abu Sufyan tentang kisahnya ketika masuk menemui kaisar, lalu kaisar menanyakan kepadanya tentang nasab Rasulullah Saw., sifat-sifatnya, dan sepak terjangnya, serta apa yang diserukan olehnya. Lalu Abu Sufyan menceritakan hal tersebut secara keseluruhan dengan jelas dan apa adanya. Padahal ketika itu Abu Sufyan masih musyrik dan belum masuk Islam, hal ini terjadi sesudah adanya Perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum penaklukan kota Mekah, seperti yang dijelaskan oleh hadis yang dimaksud. Juga ketika ditanyakan kepadanya, apakah Nabi Saw. pernah berbuat khianat? Maka Abu Sufyan menjawab, "Tidak. Dan kami berpisah dengannya selama suatu masa, dalam masa itu kami tidak mengetahui apa yang dilakukannya." Kemudian Abu Sufyan mengatakan, "Aku tidak dapat menambahkan suatu berita pun selain dari itu."
Tujuan utama dari pengetengahan kisah ini ialah bahwa surat Rasulullah Saw. disampaikan kepada kaisar yang isinya adalah seperti berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah, ditujukan kepada Heraklius, pembesar kerajaan Romawi, semoga keselamatan terlimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma Ba'du: Maka masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat, dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberimu pahala dua kali. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau menanggung dosa kaum arisin (para petani). Dan di dalamnya disebutkan pula firman-Nya:
Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)."
Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang saja telah menyebutkan bahwa permulaan surat Ali Imran sampai dengan ayat delapan puluh lebih sedikit diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran.
Az-Zuhri mengatakan bahwa mereka adalah orang yang mula-mula membayar jizyah.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ayat jizyah ini, bahwa ia diturunkan sesudah penaklukan kota Mekah. Maka timbul pertanyaan, bagaimanakah dapat digabungkan antara peristiwa penulisan ayat ini —yang terjadi sebelum peristiwa kemenangan atas kota Mekah dalam surat yang ditujukan kepada Heraklius, sebagai bagian dari surat tersebut— dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq dan Az-Zuhri?
Sebagai jawabannya dapat dikemukakan alasan-alasan berikut, yaitu:
Pertama. Dapat dihipotesiskan bahwa adakalanya ayat ini diturunkan dua kali, sekali sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan yang lainnya sesudah peristiwa kemenangan atas kota Mekah.
Kedua. Adakalanya permulaan surat Ali Imran diturunkan berkenaan dengan delegasi Najran sampai dengan ayat ini, yang berarti ayat ini diturunkan sebelum peristiwa itu. Dengan demikian, berarti pendapat Ibnu Ishaq yang mengatakan sampai ayat delapan puluh lebih beberapa ayat kurang dihafal, mengingat pengertian yang ditunjukkan oleh hadis Abu Sufyan di atas tadi.
Ketiga. Adakalanya kedatangan delegasi Najran terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyyah, dan orang-orang yang memberikan bayaran kepada Nabi Saw. sebagai ganti dari mubahalah bukan dianggap sebagai jizyah, melainkan sebagari gencatan senjata dan perdamaian. Sesudah itu turunlah ayat mengenai jizyah yang sesuai dengan peristiwa tersebut. Perihalnya sama dengan peristiwa difardukannya seper-lima dan empat perlima yang bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap sariyyah (pasukan) yang bersangkutan sebelum Perang Badar. Kemudian diturunkanlah hukum fardu pembagian ganimah yang sesuai dengan kebijakan tersebut.
Keempat. Adakalanya ketika Rasulullah Saw. Memerintahkan untuk menulis surat tersebut kepada Herakklius, ayat Itu masih belum diturunkan. Sesudah itu baru Al-Qur'an mengenai masalah ini diturunkan bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sebagaimana diturunkan ayat mengenai hijab dan tawanan perang yang isinya bersesuaian dengan kebijakan yang diputuskan oleh Umar ibnul Khattab, begitu pula ayat yang melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik. Juga dalam firman-Nya:
Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al Baqarah:125)
Peristiwa yang menyangkut firman-Nya:
Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian. (At Tahriim:5), hingga akhir ayat.