الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ( آل عمران: ١٣٤ )
Al-Ladhīna Yunfiqūna Fī As-Sarrā'i Wa Ađ-Đarrā'i Wa Al-Kāžimīna Al-Ghayža Wa Al-`Āfīna `An An-Nāsi Wa Allāhu Yuĥibbu Al-Muĥsinīna. (ʾĀl ʿImrān 3:134)
Artinya:
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, (QS. [3] Ali 'Imran : 134)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan akan sangat terpuji orang yang mampu berbuat baik terhadap orang yang pernah berbuat salah atau jahat kepadanya, karena Allah mencintai, melimpahkan rahmat-Nya tiada henti kepada orang yang berbuat kebaikan. Pesan-pesan yang mirip dengan kandungan ayat ini disampaikan pula melalui Surah an-Nahl/16: 126; asy-Syura /42: 40 dan 43.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini langsung menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu: Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kesempitan (miskin), sesuai dengan kesanggupannya. Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah. Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah swt.
Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Peliharalah dirimu dari api neraka meskipun dengan menyedekahkan sepotong kurma, dan perkenankalah permintaan seorang peminta walaupun dengan memberikan sepotong kuku hewan yang dibakar." (Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya). )
Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan. Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya. Allah berfirman:
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (ath-thalaq/65:7).
Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu. Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan.
Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Firman Allah:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.¦ (al-Baqarah/2:276).
Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu. Jadi kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.
Kedua: Orang yang menahan amarahnya. Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan-tindakan kejam dan jahat sehingga apabila dia sadar pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu. Oleh karenanya bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu. Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.
Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya. Allah menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.
Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. Beliau berkata, "Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan." Nabi Muhammad saw bersabda, "Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya." Allah berfirman:
... Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. (asy-Syura/42:37).
Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.
Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.
Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.
Keempat: Orang yang berbuat baik. Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa maka di samping memaafkan kesalahan orang lain hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, "Allah berfirman:
... Dan orang-orang yang menahan amarahnya ... (Ali 'Imran/3:134)."
Ali bin Husain menjawab, "Aku telah menahan amarah itu." Kemudian budak itu berkata pula, "Allah berfirman:
¦ Dan memaafkan (kesalahan) orang lain ... (Ali 'Imran/3:134)."
Dijawab oleh Ali bin Husain, "Aku telah memaafkanmu." Akhirnya budak, itu berkata lagi, "Allah berfirman:
¦ Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali 'Imran/3:134)."
Ali bin Husain menjawab, "Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu," demi mencapai keridaan Allah.
Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad saw terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa, tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
...(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit.
Yakni dalam keadaan susah dan dalam keadaan makmur, dalam keadaan suka dan dalam keadaan duka, dalam keadaan sehat dan juga dalam keadaan sakit. Dengan kata lain, mereka rajin berinfak dalam semua keadaan. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara sembunyi dan terang-terangan. (Al Baqarah:274)
Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidak kendur dan lupa oleh suatu urusan pun dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Mereka membelanjakan harta untuk keridaan-Nya serta berbuat baik kepada sesamanya dari kalangan kaum kerabatnya dan orang-orang lain dengan berbagai macam kebajikan.
Firman Allah Swt.:
...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Dengan kata lain, apabila mereka mengalami emosi, maka mereka menahannya (yakni memendamnya dan tidak mengeluarkannya), selain itu mereka memaafkan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka.
Disebutkan dalam sebagian asar yang mengatakan:
Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu bila Aku sedang murka kepadamu. Karena itu, Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang Aku binasakan.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah.
Syaikhain meriwayatkan hadis ini melalui hadis Malik.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari Al-Haris ibnu Suwaid, dari Abdullah (yakni Ibnu Mas'ud r.a.) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Siapakah di antara kalian yang harta warisnya lebih disukai olehnya daripada hartanya sendiri?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, tiada seorang pun di antara kami melainkan hartanya sendiri lebih disukainya daripada harta warisnya." Rasulullah Saw. bersabda, "Ketahuilah oleh kalian, bahwa tiada seorang pun di antara kalian melainkan harta warisnya lebih disukai olehnya daripada hartanya sendiri. Tiada bagianmu dari hartamu kecuali apa yang kamu infakkan, dan tiada bagi warismu kecuali apa yang kamu tangguhkan." Rasulullah Saw. pernah pula bersabda: "Bagaimanakah menurut penilaian kalian orang yang kuat di antara kalian?" Kami menjawab, "Orang yang tidak terkalahkan oleh banyak lelaki." Nabi Saw. bersabda, "Bukan, tetapi orang yang kuat itu ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah." "Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan ar-raqub?" Kami menjawab, "Orang yang tidak mempunyai anak." Nabi Saw. bersabda, "Bukan, tetapi ar-raqub ialah orang yang tidak menyuguhkan sesuatupun dari anaknya."
Imam Bukhari mengetengahkan hadis tersebut pada bagian pertamanya, sedangkan Imam Muslim mengetengahkannya berasal dari hadis ini melalui riwayat Al-A'masy.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, aku mendengar Urwah ibnu Abdullah Al-Ju'fi menceritakan dari Abu Hasbah atau ibnu Abu Husain, dari seorang laki-laki yang menyaksikan Nabi Saw. berkhotbah. Maka beliau bersabda: "Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan ar-raqub?" Kami menjawab, "Orang yang tidak mempunyai anak." Nabi Saw. bersabda, "Ar-raqub yang sesungguhnya ialah orang yang mempunyai anak, lalu ia mati, sedangkan dia belum menyuguhkan sesuatu pun dari anaknya." "Tahukah kalian, siapakah sa'luk itu?" Mereka menjawab, "Orang yang tidak berharta." Nabi Saw. bersabda, "Sa'luk yang sesungguhnya ialah orang yang berharta, lalu ia mati, sedangkan dia belum menyuguhkan barang sepeser pun dari hartanya itu." Kemudian dalam kesempatan lain Nabi Saw. bersabda: "Apakah arti jagoan itu?" Mereka menjawab, "Seseorang yang tidak terkalahkan oleh banyak lelaki." Maka Nabi Saw. bersabda, "Orang yang benar-benar jagoan ialah orang yang marah, lalu marahnya itu memuncak hingga wajahnya memerah dan semua rambutnya berdiri, lalu ia dapat mengalahkan kemarahannya."
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yaitu Ibnu Urwah), dari ayahnya, dari Al-Ahnaf ibnu Qais, dari salah seorang pamannya yang dikenal dengan nama Harisah ibnu Qudamah As-Sa'di yang menceritakan hadis berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu nasihat yang bermanfaat bagi diriku, tetapi jangan banyak-banyak agar aku selalu mengingatnya." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Kamu jangan marah." Ia mengulangi pertanyaannya kepada Nabi Saw. berkali-kali, tetapi semuanya itu dijawab oleh Nabi Saw. dengan kalimat, "Kamu jangan marah."
Hal yang sama diriwayatkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Ia meriwayatkan pula dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Hisyam dengan lafaz yang sama yang isinya adalah seperti berikut: Bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berilah aku suatu nasihat, tetapi jangan terlalu banyak, barangkali saja aku selalu mengingatnya." Nabi Saw. bersabda, "Kamu jangan marah."
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadis lain diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Nabi Saw. menjawab, "Kamu jangan marah." Lelaki itu melanjutkan kisahnya, "Maka setelah kurenungkan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. tadi, aku berkesimpulan bahwa marah itu menghimpun semua perbuatan jahat."
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Abu Harb ibnu Abul Aswad, dari Abul Aswad, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa ketika ia hendak mengambil air dari sumurnya, tiba-tiba datanglah suatu kaum, lalu mereka berkata, "Siapakah di antara kalian yang mau mengambilkan air buat (minum ternak) Abu Zar dan menghitung beberapa helai rambut dari kepalanya?" Kemudian ada seorang lelaki berkata, "Saya," lalu lelaki itu menggiring ternak kambing milik Abu Zar ke sumur tersebut (untuk diberi minum). Pada mulanya Abu Zar berdiri, lalu duduk, kemudian berbaring. Ketika ditanyakan kepadanya, "Wahai Abu Zar, mengapa engkau duduk, lalu berbaring?" Maka Abu Zar menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada kami (para sahabat): 'Apabila seseorang di antara kalian marah, sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk hingga marahnya hilang. Apabila marahnya masih belum hilang, hendaklah ia berbaring."
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal berikut sanadnya. Hanya di dalam riwayatnya disebutkan dari Abu Harb, dari Abu Zar, padahal yang benar ialah Ibnu Abu Harb, dari ayahnya, dari Abu Zar, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Abdullah ibnu Ahmad dari ayahnya.
Hadis lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Wa-il As-San'ani yang mengatakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis Urwah ibnu Muhammad, tiba-tiba masuk menemuinya seorang lelaki dan lelaki itu berbicara kepadanya tentang suatu pembicaraan yang membuat Urwah marah. Ketika Urwah marah, maka ia pergi, lalu kembali lagi menemui kami dalam keadaan telah berwudu. Kemudian ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku ayahku di hadapan kakekku (yaitu Atiyyah ibnu Sa'd As-Sa'di) yang berpredikat sebagai sahabat, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Sesungguhnya marah itu perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudu'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadis Ibrahim ibnu Khalid As-San'ani, dari Abu Wa-il Al-Oas Al-Muradi As-San'ani. Imam Abu Daud mengatakan bahwa Abu Wa-il ini adalah Abdullah ibnu Buhair.
Hadis lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Mu'awiyah As-Sulami, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari Ata, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang sedang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, niscaya Allah memelihara dirinya dari panasnya neraka Jahannam. Ingatlah, sesungguhnya amal surga itu bagaikan tanah licin yang ada di bukit —sebanyak tiga kali—. Ingatlah, sesungguhnya amal neraka itu bagaikan tanah yang mudah dilalui yang berada di tanah datar. Orang yang berbahagia ialah orang yang dipelihara dari segala fitnah. Dan tiada suatu regukan pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari regukan amarah yang ditelan oleh seseorang hamba, tidak sekali-kali seorang hamba Allah mereguk amarahnya karena Allah, melainkan Allah memenuhi rongganya dengan iman.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri, sanadnya hasan, tiada seorang perawi pun yang mempunyai kelemahan di dalamnya, dan matannya hasan pula.
Hadis lain yang semakna dengannya.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ibnu Mahdi), dari Bisyr (yakni Ibnu Mansur), dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Suwaid ibnu Wahb, dari seorang lelaki anak seorang sahabat Rasulullah Saw., dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang menahan amarah, sedangkan dia mampu mengeluarkannya, maka Allah memenuhi rongganya dengan keamanan dan iman. Dan barang siapa yang meninggalkan pakaian keindahan, sedangkan dia mampu mengadakannya —Bisyr menduga bahwa Muhammad ibnu Ajlan mengatakan karena tawadu (rendah diri)—, maka Allah memakaikan kepadanya pakaian kehormatan. Dan barang siapa memakai mahkota karena Allah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya mahkota seorang raja.
Hadis lain.
Imam Ahma'd mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Marhum, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa menahan amarah, sedangkan dia mampu untuk melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua makhluk, hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang disukainya.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Sa'id ibnu Abu Ayyub dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.
Hadis lain, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq.
telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Qais, dari Yazid ibnu Aslam, dari seorang lelaki dari kalangan ulama Syam yang dikenal dengan nama Abdul Jalil, dari seorang pamannya, dari Abu Hurairah r.a. sehubungan dengan firman-Nya: dan orang-orang yang menahan amarahnya. (Ali Imran:134) Bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa menahan amarahnya, sedangkan dia mampu melaksanakannya, niscaya Allah memenuhi rongganya dengan keamanan dan keimanan.
Hadis lain.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan bahwa Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ziyad telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu regukan pun yang ditelan oleh seorang hamba dengan pahala yang lebih utama selain dari regukan amarah yang ditelan olehnya karena mengharapkan rida Allah.
Hadis diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Bisyr ibnu Umar, dari Hammad ibnu Salamah, dari Yunus ibnu Ubaid dengan lafaz yang sama.
Firman Allah Swt.:
...dan orang-orang yang menahan amarahnya.
Yakni mereka tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang lain, melainkan mencegah dirinya agar tidak menyakiti orang lain, dan ia lakukan hal tersebut demi mengharapkan pahala Allah Swt.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
...dan memaafkan (kesalahan) orang.
Yaitu selain menahan diri, tidak melampiaskan kemarahannya, mereka juga memaafkan orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya, sehingga tiada suatu uneg-uneg pun yang ada dalam hati mereka terhadap seseorang. Hal ini merupakan akhlak yang paling sempurna. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Hal yang disebut di atas merupakan salah satu dari kebajikan. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
Ada tiga perkara yang aku berani bersumpah untuknya, tiada harta yang berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan hanya keagungan, serta barang siapa yang merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah mengangkat (kedudukan)nya.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. meriwayatkan melalui hadis Musa ibnu Uqbah, dari Ishaq ibnu Yahya ibnu Abu Talhah Al-Qurasyi, dari Ubadah ibnus Samit, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang menginginkan bangunan untuknya (di surga, dimuliakan, dan derajat (pahala)nya ditinggikan, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniaya kepadanya, memberi kepada orang yang kikir terhadap dirinya, dan bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis ali, Ka'b ibnu Ujrah, dan Abu Hurairah serta Ummu Salamah hadis yang semakna.
Telah diriwayatkan melalui Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Apabila hari kiamat terjadi, maka ada seruan yang memanggil, "Di manakah orang-orang yang suka memaafkan orang lain? Kemarilah kalian kepada Tuhan kalian dan ambillah pahala kalian!" Dan sudah seharusnya bagi setiap orang muslim masuk surga bila ia suka memaafkan (orang lain).
4 Tafsir Al-Jalalain
(Yaitu orang yang mengeluarkan nafkah) dalam menaati Allah (baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan yang dapat menahan amarahnya) hingga tidak melampiaskannya walaupun sebenarnya ia sanggup (dan yang memaafkan kesalahan manusia) yang melakukan keaniayaan kepadanya tanpa membalasnya (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan) seperti pekerjaan-pekerjaan yang disebutkan itu dan akan memberi mereka balasan.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Mereka adalah orang-orang yang membelanjakan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah. Kemudian, di samping itu, juga menahan marah sehingga tidak sampai membalas terutama kepada orang yang berbuat tidak baik kapada mereka, bahkan memaafkannya. Mereka itu termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah akan selalu memberi pahala dan perkenan-Nya kepada orang-orang seperti ini.