Ayat ini menerangkan jalan-jalan sesat yang telah ditempuh oleh para penyair dalam menyusun syairnya, yaitu:
1. Para penyair itu membuat syair tanpa tujuan yang jelas. Kadang-kadang mereka memuji sesuatu yang pernah mereka cela, mengagungkan sesuatu yang pernah mereka hina, dan mengakui sesuatu yang pernah mereka ingkari kebenarannya. Hal ini membuktikan bahwa tujuan mereka membuat syair bukan untuk mencari kebenaran atau menyatakan sesuatu yang benar. Dalam menyusun syair-syair itu, mereka hanya berpegang pada khayalan. Semakin banyak khayalan dan angan-angan mereka, semakin baik pula syair yang mereka buat. Kesesatan ahli syair itu hanya diikuti oleh orang-orang yang sesat pula, tidak akan diikuti oleh orang-orang yang suka mencari kebenaran.
2. Para ahli syair itu sering mengatakan apa yang tidak mereka lakukan. Mereka menganjurkan agar manusia pemurah dan suka memberi, tetapi mereka sendiri bakhil dan kikir. Mereka sering mengarang syair untuk menyinggung kehormatan orang lain, seperti mencela, mencaci-maki, dan sebagainya, karena sesuatu sebab yang kecil saja. Sebaliknya, mereka sering pula mengagungkan dan memuji-muji seseorang karena sebab yang kecil pula.
Demikianlah ciri-ciri penyair yang dicela oleh Allah. Akan tetapi, ada pula penyair yang baik budi pekertinya, dan cukup luas ilmu pengetahuannya. Syairnya mendorong semangat orang lain untuk berbuat baik, dan mengandung butir-butir hikmah, nasihat, dan pelajaran. Di antaranya adalah syair Umayyah bin Abi as-salt, sebagaimana sebagai berikut ini:
Dari 'Amr bin asy-Syirid, dari bapaknya, bahwa ia berkata, "Pada suatu hari aku memboncengkan Rasulullah, maka beliau menanyakan kepadaku, 'Apakah engkau menghafal beberapa bait syair Umayyah bin Abi as-salt? Aku menjawab, 'Ada. Rasulullah berkata, 'Bacalah segera. Maka aku membacakan satu bait. Rasulullah berkata, 'Bacalah segera. Maka aku membacakannya satu bait lagi. Rasulullah berkata, 'Lanjutkanlah. Aku melanjutkannya hingga seratus bait." (Riwayat Muslim)
Sikap Rasulullah terhadap syair Umayyah bin Abi as-salt ini menunjukkan bahwa beliau menyukai syair dan para penyair, asalkan penyair itu orang yang berakhlak, bercita-cita luhur, dan syair-syairnya banyak mengandung butir-butir hikmah. Tidak seperti para penyair dan syair-syair yang sifat-sifatnya disebutkan pada ayat-ayat yang lalu (ayat 221-226). Para penyair dan syair-syair seperti itulah yang dicela dan dilarang oleh Rasulullah.