الَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مِيْثَاقِهٖۖ وَيَقْطَعُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ( البقرة: ٢٧ )
Al-Ladhīna Yanquđūna `Ahda Allāhi Min Ba`di Mīthāqihi Wa Yaqţa`ūna Mā 'Amara Allāhu Bihi 'An Yūşala Wa Yufsidūna Fī Al-'Arđi 'Ūlā'ika Hum Al-Khāsirūna. (al-Baq̈arah 2:27)
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS. [2] Al-Baqarah : 27)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Orang-orang fasik itu adalah orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan, yaitu perjanjian dalam diri setiap manusia yang muncul secara fitrah dan didukung dengan akal dan petunjuk agama sebagaimana dijelaskan pada Surah al-A 'ra f/7: 172, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, seperti menyambung persaudaran dan hubungan kekerabatan, berkasih sayang, dan saling mengenal sesama manusia, dan berbuat kerusakan di bumi dengan perilaku tidak terpuji, menyulut konflik, mengobarkan api peperangan, merusak lingkungan, dan lainnya. Mereka itulah orangorang yang rugi karena telah menodai kesucian fitrah dan memutus hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksaan di akhirat.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Sifat-sifat orang fasik dan juga orang kafir yang tersebut pada ayat di atas, yaitu:
1.Melanggar perjanjian dengan Allah sesudah perjanjian itu teguh;
2.Memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya;
3.Membuat kerusakan di muka bumi.
Orang-orang yang merusak perjanjian Allah yaitu merusak perjanjian Allah dengan makhluk-Nya, bahwa seluruh makhluk-Nya akan beriman hanya kepada-Nya, kepada para malaikat, kepada para rasul, kepada kitab-kitab-Nya, kepada hari kemudian dan kepada adanya qada dan qadar Allah, mengikuti semua perintah dan menghentikan semua larangan-Nya. Untuk itu Allah swt menganugerahkan kepada manusia akal, pikiran, anggota badan dan sebagainya agar manusia selalu ingat akan janjinya itu. Tetapi orang-orang fasik tidak mau mengindahkannya sesuai dengan firman Allah:
... Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al-A'raf/7: 179)
"Dan mereka juga memutuskan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menghubungkannya" ialah segala macam pemutusan hubungan yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya, seperti memutuskan hubungan silaturrahim antara sesama kaum Muslimin (an-Nisa'/4: 1), membeda-bedakan para nabi dan rasul yaitu mengimani sebagiannya dan mengingkari sebagian yang lain (al-Baqarah/2: 285) dan sebagainya. Termasuk pula di dalam memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya ialah mengubah, menghapus atau menambah isi dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para rasul-Nya yang berakibat putusnya hubungan antara agama Allah yang dibawa para rasul.
Orang-orang fasik membuat kerusakan di bumi, karena mereka itu tidak beriman, menghalang-halangi orang lain beriman, memperolok-olokkan yang hak, merusak akidah, merusak atau melenyapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk memakmurkan alam ini buat kemaslahatan manusia serta merusak lingkungan hidup. Mereka orang-orang yang rugi di dunia karena tindakan-tindakannya dan rugi di akhirat dengan mendapat kemarahan Allah.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan? (An Nahl:76)
Sama halnya dengan firman-Nya:
Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian. (Ar Ruum:28)
Allah Swt. telah berfirman:
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan. (Az Zumar:29)
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut 43)
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf mengatakan, "Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al 'Ankabut:43)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al Baqarah:26) Maksudnya, semua perumpamaan —baik yang kecil maupun yang besar— orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal itu merupakan perkara hak dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. (Al Baqarah:26) Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, "Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka." Yang dimaksud ialah perumpamaan ini. Tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Al Baqarah:26) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (Al Muddastir:31)
Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al Baqarah:26):
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu bihi kasiran adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi kasiran adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada, karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini. Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan tersebut.
Firman Allah Swt., "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik" (Al Baqarah:26). Menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin" bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin.'"' Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya." Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin," bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, "Yudillu bihi kasiran," adalah orang-orang Khawarij.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al Baqarah:27), sampai akhir ayat. Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij).
Sanad riwayat ini sekalipun sahih dari Sa'd ibnu Abu Waqqas r.a., tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di Nahrawan, karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur'an.
Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah bahasa ialah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah" bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis Sahihain dari Siti Aisyah r.a. dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh —baik di tanah halal maupun di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila.
Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka, tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah 'fasik' dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.
(Al Baqarah:27)
Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya:
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar Ra'du:19-21)
Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya:
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar Ra'du:25)
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan hal tersebut.
Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah menauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah Swt. Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka.
Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, "Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya, "Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya:
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)."
(Al A'raf:172)
Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya:
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian.
(Al Baqarah:40)
Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah Swt. ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al A'raf:172)
Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian pula menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan, semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al Baqarah:27) Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut, yaitu: Apabila bicara, berdusta, apabila berjanji, ingkar akan janjinya, apabila dipercaya, khianat, mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta, apabila berjanji, ingkar, dan apabila dipercaya, khianat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al Baqarah:27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya.
Firman Allah Swt.:
...dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya.
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya:
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (Muhammad:22)
Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al Baqarah:27) bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt:
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar Ra'du:25)
Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi, maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran. Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Ulaika humul khasirun" bahwa lafaz al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafaz khasirun, mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah Swt. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah:
Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir ditakdirkan menjadi hamba sahaya.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Orang-orang yang) merupakan 'na`at' atau sifat (melanggar janji Allah) melanggar kewajiban yang ditugaskan Allah kepada mereka dalam Kitab-Kitab Suci berupa keimanan kepada Nabi Muhammad saw. (setelah teguhnya) setelah kukuhnya perjanjian itu, (dan memutus apa yang diperintahkan Allah dengannya untuk dihubungkan), yakni beriman dan menghubungkan silaturahmi dengan Nabi saw. serta lain-lainnya. Anak kalimat 'untuk dihubungkan' menjadi kata ganti dari 'dengannya', (dan membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan maksiat serta menyimpang dari keimanan (merekalah) orang-orang yang mempunyai sifat seperti yang dilukiskan itu (orang-orang yang rugi) karena mereka dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Orang-orang yang membatalkan perjanjian Allah (yaitu orang-orang yang tidak menepati perjanjian Allah yang kukuh, yang ditumbuhkan-Nya dalam diri mereka sesuai dengan fitrah, dikuatkan dengan akal dan risalah) dan memutuskan apa yang diperintahkan-Nya untuk disambungkan (seperti menyambung hubungan persaudaraan dan bersikap saling menyayangi, mengenal dan berlemah-lembut kepada sesama manusia), serta membuat kerusakan di muka bumi dengan perilaku yang menyimpang dan menyebarkan fitnah serta menimbulkan peperangan dan merusak kehidupan, mereka itulah orang-orang yang merugi. Sebab, dengan tindakan perusakan seperti itu, berarti mereka telah melawan fitrah dan memutuskan apa- apa yang semestinya tersambung di antara sesama, yang berupa rasa saling mengasihi dan menyayangi. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksaan di akhirat.