لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ( البقرة: ٢٥٦ )
Lā 'Ikrāha Fī Ad-Dīni Qad Tabayyana Ar-Rushdu Mina Al-Ghayyi Faman Yakfur Biţ-Ţāghūti Wa Yu'umin Billāhi Faqad Astamsaka Bil-`Urwati Al-Wuthqaá Lā Anfişāma Lahā Wa Allāhu Samī`un `Alīmun. (al-Baq̈arah 2:256)
Artinya:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. [2] Al-Baqarah : 256)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Meski memiliki kekuasaan yang sangat luas, Allah tidak memaksa seseorang untuk mengikuti ajaran-Nya. Tidak ada paksaan terhadap seseorang dalam menganut agama Islam. Mengapa harus ada paksaan, padahal sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Oleh karena itu, janganlah kamu menggunakan paksaan apalagi kekerasan dalam berdakwah. Ajaklah manusia ke jalan Allah dengan cara yang terbaik. Barang siapa ingkar kepada Tagut, yaitu setan dan apa saja yang dipertuhankan selain Allah, dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang teguh pada ajaran agama yang benar sehingga tidak akan terjerumus dalam kesesatan, sama halnya dengan orang yang berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus sehingga dia tidak akan terjatuh. Agama yang benar ibarat tali yang kuat dan terjulur menuju Allah, dan di situ terdapat sebab-sebab yang menyelamatkan manusia dari murka-Nya. Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan oleh hamba-Nya, Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan mereka, sehingga semua itu akan mendapat balasannya di hari kiamat.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Tidak dibenarkan adanya paksaan untuk menganut agama Islam. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan, serta dengan nasihat-nasihat yang wajar, sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri (an-Nahl/16:125).
Apabila kita sudah menyampaikan kepada mereka dengan cara yang demikian, tetapi mereka tidak juga mau beriman, itu bukanlah urusan kita, melainkan urusan Allah. Kita tidak boleh memaksa mereka. Dalam ayat yang lain (Yunus/10:99) Allah berfirman yang artinya: "Apakah Engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?"
Dengan datangnya agama Islam, jalan yang benar sudah tampak dengan jelas dan dapat dibedakan dari jalan yang sesat. Maka tidak boleh ada pemaksaan untuk beriman, karena iman adalah keyakinan dalam hati sanubari dan tak seorang pun dapat memaksa hati seseorang untuk meyakini sesuatu, apabila dia sendiri tidak bersedia.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan kenabian Muhammad saw sudah cukup jelas. Maka terserah kepada setiap orang, apakah akan beriman atau kafir, setelah ayat-ayat itu sampai kepada mereka. Inilah etika dakwah Islam. Adapun suara-suara yang mengatakan bahwa agama Islam dikembangkan dengan pedang hanyalah tuduhan dan fitnah belaka. Umat Islam di Mekah sebelum berhijrah ke Medinah hanya melakukan salat dengan cara sembunyi, dan mereka tidak mau melakukannya secara demonstratif di hadapan kaum kafir.
Ayat ini turun kira-kira pada tahun ketiga sesudah hijrah, yaitu setelah umat Islam memiliki kekuatan yang nyata dan jumlah mereka telah bertambah banyak, namun mereka tidak diperbolehkan melakukan paksaan terhadap orang-orang yang bukan Muslim, baik secara halus, apa lagi dengan kekerasan.
Adapun peperangan yang telah dilakukan umat Islam, baik di Jazirah Arab, maupun di negeri-negeri lain, seperti di Mesir, Persia dan sebagainya, hanyalah semata-mata suatu tindakan beladiri terhadap serangan-serangan kaum kafir kepada mereka. Selain itu, peperangan dilakukan untuk mengamankan jalannya dakwah Islam, sehingga berbagai tindakan kezaliman dari orang-orang kafir yang memfitnah dan mengganggu umat Islam karena menganut dan melaksanakan agama mereka dapat dicegah, dan agar kaum kafir itu dapat menghargai kemerdekaan pribadi dan hak-hak asasi manusia dalam menganut keyakinan.
Di berbagai daerah yang telah dikuasai kaum Muslimin, orang yang belum menganut agama Islam diberi hak dan kemerdekaan untuk memilih: apakah mereka akan memeluk agama Islam ataukah akan tetap dalam agama mereka. Jika mereka memilih untuk tetap dalam agama semula, maka mereka diharuskan membayar "jizyah" yaitu semacam pajak sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan Pemerintah Islam kepada mereka. Keselamatan mereka dijamin sepenuhnya, asal mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang memusuhi Islam dan umatnya.37)
Ini merupakan bukti yang jelas bahwa umat Islam tidak melakukan paksaan, bahkan tetap menghormati kemerdekaan beragama, walaupun terhadap golongan minoritas yang berada di daerah-daerah kekuasaan mereka. Sebaliknya dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah, baik pada masa dahulu, maupun pada zaman modern sekarang ini, betapa malangnya nasib umat Islam, apabila mereka menjadi golongan minoritas di suatu negara.
Ayat ini selanjutnya menerangkan bahwa barang siapa yang tidak lagi percaya kepada thagut, atau tidak lagi menyembah patung, atau benda yang lain, melainkan beriman dan menyembah Allah semata-mata, maka dia telah mendapatkan pegangan yang kokoh, laksana tali yang kuat, yang tidak akan putus. Iman yang sebenarnya adalah iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diiringi dengan perbuatan. Itulah sebabnya maka pada akhir ayat, Allah berfirman yang artinya: "Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Artinya Allah senantiasa mendengar apa yang diucapkan, dan Dia selalu mengetahui apa yang diyakini dalam hati, dan apa yang diperbuat oleh anggota badan. Allah akan membalas amal seseorang sesuai dengan iman, perkataan dan perbuatan mereka masing-masing.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.
Mereka menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari kalangan Ansar, sekalipun hukum yang terkandung di dalamnya bersifat umum.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, "Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi". Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Ansar. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini, kedua-duanya meriwayatkannya dari Bandar dengan lafaz yang sama. Sedangkan dari jalur-jalur yang lain diriwayatkan hal yang semakna, dari Syu'bah.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama disebutkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan Al-Basri serta lain-lainnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad Al-Jarasyi, dari Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..
Ibnu Abbas menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Ansar dari kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Husaini. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi Saw., "Bolehkah aku memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani." Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. As-Saddi meriwayatkan pula hal yang semakna, tetapi di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut: Keduanya telah masuk agama Nasrani di tangan para pedagang yang datang dari negeri Syam membawa zabib (anggur kering). Ketika keduanya bertekad untuk ikut bersama para pedagang Syam itu, maka ayah keduanya bermaksud memaksa keduanya (untuk masuk Islam) dan meminta kepada Rasulullah Saw. agar mengutus dirinya untuk menyusul keduanya agar pulang kembali. Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Hilal, dari Asbaq yang menceritakan, "Pada mulanya aku memeluk agama mereka sebagai seorang Nasrani yang menjadi budak Umar ibnul Khajtab, dan ia selalu menawarkan untuk masuk Islam kepadaku, tetapi aku menolak. Maka ia membacakan firman-Nya:
'Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).'
Ia mengatakan, 'Hai Asbaq, seandainya kamu masuk Islam, niscaya aku akan mengangkatmu sebagai pegawai untuk mengurusi sebagian urusan kaum muslim'."
Golongan yang cukup banyak dari kalangan ulama berpendapat bahwa ayat ini diinterpretasikan dengan pengertian tertuju kepada kaum Ahli Kitab dan orang-orang yang termasuk ke dalam kategori mereka sebelum (mengetahui adanya) pe-nasakh-an dan penggantian, tetapi dengan syarat bila mereka membayar jizyah.
Ulama lain mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat qital (perang). Wajib menyeru semua umat untuk memasuki agama Al-Hanif, yaitu agama Islam. Jika ada seseorang di antara mereka menolak untuk masuk ke dalam agama Islam serta tidak mau tunduk kepada peraturannya atau tidak mau membayar jizyah, maka ia diperangi hingga titik darah penghabisan. Yang demikian itulah makna ikrah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). (Al Fath:16)
Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (At Taubah:73)
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripada kalian, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At Taubah:123)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
Tuhanmu kagum kepada suatu kaum yang digiring masuk ke surga dalam keadaan dirantai.
Makna yang dimaksud ialah para tawanan yang didatangkan ke negeri Islam dalam keadaan terikat oleh rantai dan belenggu. Sesudah itu mereka masuk Islam dan memperbaiki amal perbuatan serta hati mereka. Maka mereka kelak termasuk ahli surga.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu:
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari sahabat Abas r.a. yang menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada seorang lelaki, "Masuk Islamlah kamu!" Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya masih belum menyukainya." Nabi Saw. bersabda, "Sekalipun kamu belum menyukainya."
Hadis ini merupakan salah satu dari hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang, tetapi sahih. Hanya saja tidak termasuk ke dalam bab ini karena pada kenyataannya Nabi Saw. tidak memaksanya untuk masuk Islam, melainkan beliau menyerunya untuk masuk Islam, lalu lelaki itu menjawab bahwa ia masih belum mau menerimanya, bahkan masih tidak suka untuk masuk Islam. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Masuk Islamlah, sekalipun hatimu tidak suka, karena sesungguhnya Allah pasti akan menganugerahimu niat yang baik dan ikhlas."
Firman Allah Swt.:
Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Yakni barang siapa yang melepaskan semua tandingan dan berhala-berhala serta segala sesuatu yang diserukan oleh setan berupa penyembahan kepada selain Allah, lalu ia menauhidkan Allah dan menyembah-Nya semata serta bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, berarti ia seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
...maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.
Yaitu berarti perkaranya telah mapan dan berjalan lurus di atas tuntunan yang baik dan jalan yang lurus.
Abul Qasim Al-Bagawi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al-Baladi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas (yaitu Salam ibnu Salim), dari Abu Ishaq, dari Hassan (yaitu Ibnu Qaid Al-Absi) yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya al-jibt adalah sihir, dan tagut adalah setan. Sesungguhnya sifat berani dan sifat pengecut ada di dalam diri kaum lelaki, orang yang pemberani berperang membela orang yang tidak dikenalnya, sedangkan orang yang pengecut lari tidak dapat membela ibunya sendiri. Sesungguhnya kehormatan seorang lelaki itu terletak pada agamanya, sedangkan kedudukannya terletak pada akhlaknya, sekalipun ia seorang Persia atau seorang Nabat."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui riwayat As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Hassan ibnu Qaid Al-Abdi, dari Umar.
Makna ucapan Umar tentang tagut —bahwa tagut adalah setan— sangat kuat, karena sesungguhnya pengertian tersebut mencakup semua bentuk kejahatan yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah, seperti menyembah berhala dan meminta keputusan hukum kepadanya serta membelanya.
Firman Allah Swt.:
Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Yakni sesungguhnya ia telah berpegang kepada agama dengan sarana yang sangat kuat. Hal itu diserupakan dengan buhul tali yang kuat lagi tak dapat putus. Pada kenyataannya tali tersebut dipintal dengan sangat rapi, kuat lagi halus, sedangkan ikatannya pun sangat kuat. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang . amat kuat yang tidak akan putus.
Mujahid mengatakan bahwa al-'urwatil wusqa artinya iman. Menurut As-Saddi artinya agama Islam, sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair dan Ad-Dahhak artinya ialah kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah." '
Menurut sahabat Anas ibnu Malik, al-'urwatul wusqa artinya Al-Qur'an. Menurut riwayat yang bersumber dari Salim ibnu Abul Ja'd, yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Semua pendapat di atas benar, satu sama lainnya tidak bertentangan.
Sahabat Mu'az ibnu Jabal mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ...yang tidak akan putus., Bahwa yang dimaksud dengan terputus ialah tidak dapat masuk surga.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya:
...maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus., Kemudian membacakan ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar Ra'du:11)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Auf, dari Muhammad ibnu Qais ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa ketika ia berada di dalam masjid, datanglah seorang lelaki yang pada roman mukanya ada bekas kekhusyukan. Lalu lelaki itu salat dua rakaat dengan singkat. Maka kaum yang ada di dalam masjid itu berkata, "Lelaki ini termasuk ahli surga." Ketika lelaki itu keluar (dari masjid), maka aku (Muhammad ibnu Qais ibnu Ubadah) mengikutinya hingga ia memasuki rumahnya. Aku ikut masuk bersamanya, dan aku mengobrol dengannya. Setelah kami saling berkenalan, aku katakan kepadanya, "Sesungguhnya kaum yang ada di masjid tadi ketika engkau masuk ke dalam masjid, mereka mengatakan anu dan anu." Lelaki itu menjawab, "Mahasuci Allah, tidak layak bagi seseorang mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Aku akan menceritakan kepadamu mengapa demikian. Sesungguhnya aku pernah bermimpi sesuatu di masa Rasulullah, lalu aku ceritakan mimpi itu kepadanya. Aku melihat diriku berada di sebuah taman yang hijau —Ibnu Aun mengatakan bahwa lelaki itu menggambarkan suasana kesuburan taman dan luasnya—. Di tengah-tengah kebun itu terdapat sebuah tiang besi yang bagian bawahnya berada di bumi, sedangkan bagian atasnya berada di langit, dan pada bagian atasnya ada buhul tali-nya. Kemudian dikatakan kepadaku, 'Naiklah ke tiang itu.' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat.' Lalu datanglah seorang yang memberi nasihat kepadaku —Ibnu Aun mengatakan bahwa orang tersebut adalah penjaga taman tersebut—. Orang itu mengangkat bajuku dari belakang seraya berkata, 'Naiklah!' Maka aku naik hingga dapat memegang tali tersebut. Orang tersebut berkata, 'Berpeganglah kepada tali ini.' Aku terbangun, dan sesungguhnya tali itu benar-benar masih berada dalam pegangan kedua tanganku. Aku datang kepada Rasulullah Saw., lalu kuceritakan kepadanya mimpi tersebut. Maka beliau bersabda: 'Adapun taman tersebut adalah. taman Islam, sedangkan tiang tersebut adalah tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kuat, artinya engkau tetap berada dalam agama Islam hingga mati'."
Perawi mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah sahabat Abdullah ibnu Salam.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Abdullah ibnu Aun, maka aku (perawi) berdiri menghormatinya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui jalur lain, dari Muhammad ibnu Sirin dengan lafaz yang sama.
Jalur yang lain dan teks yang lain:
Imam Ahmad berkata: telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa dan Usman. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Kharsyah ibnul Hur yang menceritakan hadis berikut: Aku tiba di Madinah, lalu aku duduk (bergabung) dengan halqah salah seorang guru di Masjid Nabawi. Lalu datanglah seorang syekh (guru) yang bertopang pada sebilah tongkat, maka kaum yang ada berkata, "Barang siapa yang ingin melihat seorang lelaki dari kalangan ahli surga, hendaklah ia memandang syekh ini." Kemudian syekh itu berdiri di belakang sebuah tiang dan melakukan salat dua rakaat. Lalu aku berkata kepadanya, "Sebagian dari kaum mengatakan anu dan anu." Maka ia menjawab, "Surga adalah milik Allah, Dia memasukkan ke dalamnya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya aku pernah mengalami sebuah mimpi di zaman Rasulullah Saw. Aku melihat dalam mimpiku itu seakan-akan ada seorang lelaki datang kepadaku, lalu lelaki itu berkata, 'Berangkatlah.' Maka aku berangkat bersamanya, dan ia menempuh sebuah jalan yang besar bersamaku. Lalu ada sebuah jalan di sebelah kiriku, ketika aku hendak menempuhnya, lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya kamu bukan termasuk ahlinya.' Kemudian tampak sebuah jalan di sebelah kananku, dan aku langsung menempuhnya hingga sampai di sebuah bukit yang licin. Lalu ia memegang tanganku dan mendorongku, tiba-tiba diriku telah berada di puncak bukit tersebut, aku merasa diriku tidak tetap dan tiada pegangan. Kemudian muncullah sebuah tiang besi yang di puncaknya terdapat tali emas. Maka ia memegang tanganku dan mendorongku hingga aku dapat memegang tali tersebut, lalu ia berkata, 'Berpeganglah.' Aku menjawab, 'Ya.' Lalu ia memanjatkan kakinya ke tiang tersebut, dan aku berpegang dengan tali itu. Lalu aku kisahkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab: 'Kamu telah melihat kebaikan, adapun jalan yang besar itu adalah padang mahsyar, adapun jalan yang tampak di sebelah kirimu adalah jalan ahli neraka, sedangkan kamu bukan termasuk ahlinya. Dan adapun jalan yang tampak di sebelah kananmu adalah jalan ahli surga, dan adapun mengenai bukit yang licin itu adalah kedudukan para syuhada, sedangkan tali yang menjadi peganganmu itu adalah tali Islam. Maka berpeganglah kepadanya hingga kamu mati.' Lalu Syekh itu berkata, 'Sesungguhnya aku hanya berharap semoga diriku ini termasuk ahli surga'." Perawi mengatakan, ternyata Syekh itu adalah Abdullah ibnu Salam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ahmad ibnu Sulaiman, dari Affan dan Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Al-Hasan ibnu Musa Al-Asyyab. Keduanya meriwayatkannya pula dari Hammad ibnu Salimah dengan lafaz yang semisal.
Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Al-A'masy, dari Sulaiman ibnu Mishar, dari Kharsyah ibnul Hur Al-Fazari dengan lafaz yang sama.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Tidak ada paksaan dalam agama), maksudnya untuk memasukinya. (Sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari jalan yang salah), artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu adalah kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Ansar yang mempunyai anak-anak yang hendak dipaksakan masuk Islam. (Maka barang siapa yang ingkar kepada tagut), maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kokoh (yang tidak akan putus-putus dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui) segala perbuatan.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang-teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Perumpamaannya seperti orang yang berpegangan pada tali yang kuat dan kokoh, sehingga tidak terjerumus ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa yang kalian lakukan. Maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal. (1) (1) Komentar mengenai ayat ini dari segi hukum internasional telah disinggung pada ayat-ayat peperangan, dari nomor 190-195 surat al-Baqarah.