حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ( البقرة: ٢٣٨ )
Ĥāfižū `Alaá Aş-Şalawāti Wa Aş-Şalāati Al-Wusţaá Wa Qūmū Lillāhi Qānitīna. (al-Baq̈arah 2:238)
Artinya:
Peliharalah semua shalat dan shalat wusta. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk. (QS. [2] Al-Baqarah : 238)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Usai menjelaskan hukum keluarga dalam beberapa ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum asasi antara manusia dengan Allah, yakni salat. Hal ini seakan mengingatkan agar persoalan keluarga tidak membuat manusia lupa akan kewajiban asasinya, yaitu salat. Karena itu, ayat ini dimulai dengan kata perintah. Peliharalah secara sungguh-sungguh, baik secara pribadi maupun saling mengingatkan antara satu dengan lainnya tentang semua salat, dan peliharalah secara khusus salat wusaa , yakni salat asar dan subuh, karena keutamaannya. Dan laksanakanlah salat karena Allah Pemilik kemuliaan dan keagungan dengan khusyuk, yakni dengan penuh ketaatan dan keikhlasan.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Dalam ayat ini diterangkan keutamaan melakukan salat, dan selalu memeliharanya. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan dalam memenuhi segala kebutuhan dan persoalan hidupnya banyak sekali menemui kesulitan yang kadang-kadang dapat menjerumuskannya kepada hal-hal yang dilarang agama. Karena itu telah diberi suatu cara yang baik untuk dilakukan manusia agar selalu terjamin hubungan keduniaannya dengan ketakwaan kepada Allah dengan selalu memelihara salat. Mulai dari bangun tidur sebelum melakukan kontak dengan manusia lainnya ia ingat dan bermunajah lebih dahulu dengan Allah (waktu subuh). Kemudian setelah ia berhubungan dengan masyarakat, dan mungkin sekali terjadi perbuatan yang tidak diridai Allah maka untuk mengingatkan dan menyelamatkannya, ia dipanggil untuk berhubungan lagi dengan Allah pada waktu tengah hari (salat zuhur). Begitulah seterusnya selama 24 jam. Dengan demikian selalu terjalin antara kesibukan manusia (untuk memenuhi hajat hidupnya) dengan ingat kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Hal ini mempunyai pengaruh dan membekas dalam jiwa dan kehidupan manusia sebagaimana ditegaskan bahwa dengan salat manusia dapat terhindar dari perbuatan jahat dan mungkar. Selain itu, memelihara salat adalah bukti iman kepada Allah, dan menjadi syarat mutlak bagi kehidupan seorang Muslim, menguatkan tali persaudaraan, dan dapat menjamin hak-hak manusia. Menurut riwayat Ahmad, Rasulullah saw bersabda:
Perjanjian antara kami dengan kaum kafir adalah salat, siapa yang meninggalkannya (dengan sengaja) maka ia telah menjadi kafir. (Riwayat Ahmad)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-thabrani, Rasulullah saw bersabda:
Barang siapa selalu memelihara salat maka ia akan dapat cahaya dan petunjuk serta akan dapat keselamatan pada hari Kiamat. Sebaliknya orang yang tidak memelihara salat maka tidak ada baginya cahaya, petunjuk dan keselamatan. Di akhirat nanti ia akan bersama Fir'aun, Haman, dan Ubai bin Khalaf di dalam neraka. (Riwayat Ahmad dan ath-thabrani)
Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana pentingnya menjaga dan memelihara salat. Manusia yang melaksanakan perintah ini benar-benar menjadi makhluk Allah yang bertakwa dan hidupnya akan selalu aman, berada di dalam magfirah dan rida Allah.
Adapun sebab turun ayat ini menurut riwayat dari Zaid bin sabit, Rasulullah saw selalu melakukan salat zuhur, meskipun pada siang hari yang panas terik yang bagi para sahabat dirasakan berat, maka turunlah ayat ini. Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk selalu menjaga salat lima waktu. Jika salat itu dilaksanakan, ia dapat memelihara diri dari berbuat hal-hal yang jahat dan mungkar. Salat dapat menjadi penenang jiwa dari segala kegelisahan yang menimpa diri. Karena itu salat merupakan tiang agama.
Allah menekankan salat wustha. Salat wusta menurut jumhur Ulama ialah salat Asar. Allah mengajarkan pula, agar dalam melakukan salat kita berlaku khusyuk dan tawaduk. Sebab pemusatan pikiran kepada Allah semata-mata adalah tingkat salat yang paling baik dan salat inilah yang dapat membekas pada jiwa manusia.
Karena pentingnya melaksanakan dan memelihara salat ini seorang Muslim tidak boleh meninggalkannya walau dalam keadaan bagaimanapun. Salat tetap tidak boleh ditinggalkan, meskipun dalam suasana kekhawatiran terhadap jiwa, harta, atau kedudukan. Dalam keadaan uzur, salat dapat dikerjakan menurut cara yang mungkin dilakukan, baik dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, ataupun sakit. Maka setelah hilang uzur itu, terutama yang berupa kekhawatiran, hendaklah bersyukur kepada Allah, karena Allah mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak diketahuinya termasuk mengenai kaifiat (cara) melakukan salat dalam masa tidak aman/dalam keadaan perang.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Amal apakah yang paling utama?" Ia menjawab, "Mengerjakan salat pada waktunya." Aku berkata lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Ibnu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut, niscaya beliau akan menambahkannya."
Allah Swt. menyebutkan sccara khusus di antara semua salat, yaitu salat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari salat wusta ini, salat apakah ia?
Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah salat Subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya melalui Ali dan Ibnu Abbas.
Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A'rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah salat Subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, "Inilah salat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di dalamnya seraya membaca doa qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah, yaitu salat Subuh, lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, "Inilah salat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan firman-Nya:
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Aku pernah salat di belakang Abdullah ibnu Qais di Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada di sebelahku, 'Apakah salat wusta itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta adalah salat sekarang ini (yaitu Subuh)'."
Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, bahwa ia pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu salat Subuh. Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada mereka, "Manakah yang dimaksud dengan salat wusta itu?" Mereka menjawab, "Salat yang baru saja kamu kerjakan."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya berdalilkan firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa qunut. Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam salat Subuh.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat ini dinamakan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara dua salat ruba'iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Magrib, karena letak waktunya di antara dua salat jahriyyah di malam hari dan dua salat siang yang sirri (perlahan bacaannya).
Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah salat Lohor. Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang salat wusta. Maka ia berkata: 'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu Rasulullah Saw. selalu mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari terik sekali)'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan menceritakan hadis berikut dari Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas matahari sangat terik), tiada suatu salat pun yang dirasakan amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari salat Lohor. Maka turunlah firman-Nya, "Peliharalah semua salat-(mu), dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk" (Al Baqarah:238). Beliau mengatakan:
bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat lain, dan sesudahnya terdapat pula dua salat lainnya.
Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."
Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah seorang anak Umar ibnul Khattab r.a.) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceritakan asar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari Zaid ibnu Sabit di dalam hadis marfu'-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Lohor.
Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa'id, dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Asar. Imam Turmuzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya.
Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi'in.
Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad ibnu Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama.
Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf Ad-Dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar. Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang sahih dari mereka.
Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul Munzir pernah mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki."
Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam Perang Ahzab:
Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian Rasulullah Saw. mengerjakannya di antara salat Magrib dan Isya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Mu'awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Asim, dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ubaidah, "Tanyakanlah kepada sahabat Ali tentang makna salat wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini kepadanya. Maka Ali menjawab, "Dahulu kami menganggapnya salat fajar yakni salat Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah Saw. yar.g telah bersabda dalam Perang Ahzab:
'Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau rumah mereka dengan api'."
Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat mengerjakan salat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali. Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pendapat orang yang mengatakan bahwa salat wusta itu adalah salat Asar dengan berdalilkan hadis ini.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Al-Barra ibnu Azib r.a.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Salat wusta adalah salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al Baqarah:238) Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Rauh, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan salat wusta: Ia adalah salat Asar,
Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih. Imam Turmuzi pernah mendengar hadis lainnya (mengenai masalah yang sama) dari Sa'id ibnu Abu Arubah.
Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Zar'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Sanad hadis ini tidak mengandung cela.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Muhammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka telah menyibukkan kita dari salat wusta, yaitu salat Asar.
Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun (karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah yang menganjurkan untuk memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah sabda Nabi Saw. di dalam sebuah hadis sahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya, maka seakan-akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya.
Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir, dari Buraidah ibnul Hasib, dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di awal waktunya) pada hari yang berawan, karena sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan salat Asar, niscaya amal perbuatannya dihapuskan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang menceritakan hadis berikut: Kami salat dengan Rasulullah Saw. di sebuah lembah milik mereka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali lipat. Ingatlah, tiada salat (sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari tenggelam dan malam hari mulai gelap).
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadis ini dari Jubair ibnu Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan lafaz yang sama.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti berikut:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim, dari Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata, "Apabila tulisanmu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta', maka beri tahukanlah aku." Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi tahu dia. Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut, "Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk." Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw.
Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Rafi' yang mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mushaf untuk Siti Hafsah, istri Nabi SAW. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisanmu sampai kepada firman-Nya:
Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta. maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya seperti berikut: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk'."
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mushaf untuknya. Ia berpesan kepada maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al Baqarah:238). janganlah kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepadamu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah Saw. membacakannya." Setelah Nafi' sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan kepadanya untuk menulisnya seperti berikut:
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mushaf tersebut, dan ternyata ia menjumpai adanya huruf wawu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi' maula Urnar yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah terdapat: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafaz salatil 'asri di-'ataf-kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu 'ataf. Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah selain salat Asar.
Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai alasan, antara lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali lebih sahih dan lebih jelas darinya'. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an, supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al An'am:55)
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (Al An'am:75)
Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan 'ataf sifat kepada sifat yang lain, bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup nabi-nabi. (Al Ahzab:40)
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (Al-A'la: 1-4)
Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
Kepada raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang bila perang berkobar.
Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
Semoga maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka hanyalah kuburan.
Al-maut yang juga berarti al-manun, keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan:
Ia memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia menjumpai ucapannya hanya dusta dan main-main.
Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih —Syekh ilmu Nahwu— menaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengatakan, "Aku bersua dengan saudaramu yang juga temanmu." Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga, yakni keduanya adalah orang yang sama.
Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri adalah Al-Qur'an, maka riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui hadis ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur'an. Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman ibnu Affan di dalam mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan qurra sab'ah maupun dari lainnya.
Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah tersebut di-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam hadis di atas (yakni lafaz wa salatil 'asri).
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Marzuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat Asar. Maka kami membacakannya kepada Rasulullah Saw. selama apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt. menasakhnya dengan menurunkan firman-Nya:
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta.
Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, "Apakah salat wusta itu adalah salat Asar?" Syaqiq menjawab, "Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah Swt. menasakhnya."
Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan oleh Imam Muslim kecuali hanya hadis yang satu ini.
Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini —yakni tilawah yang terakhir— menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna mugayarah. Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah lafazhya saja.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Magrib, dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ibnu Zuaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat.
Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemukakan alasannya bahwa salat Magrib dinamakan salat wusta karena bilangan rakaatnya pertengahan antara salat ruba'iyyah dan salat Sunaiyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di antara salat-salat fardu lainnya, juga karena hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaannya.
Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah salah satu dari salat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguhnya salat wusta ini disamarkan di antara salat lima waktu, perihalnya sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan bilangan puluhannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi' ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain —yaitu Al-Juwaini— di dalam kitab nihayahnya.
Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah semua salat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Umar. Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu dipertimbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri seberang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar, mengingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari Al-Qur'an atau sunnah atau asar.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Isya dan salat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah salat berjamaah. Pendapat lain mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat salat Khauf, yang lain mengatakan salat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi mengatakan salat Idul Adha. Menurut pendapat yang lain yaitu salat witir, ada pula yang mengatakannya salat duha. Sementara ulama lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antaranya. Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman sahabat hingga masa sekarang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan asar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. berselisih pendapat tentang salat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari jemari kedua tangannya menjadi satu.
Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai lemah bila dibandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal perselisihan ini terpusat pada salat Subuh dan salat Asar. Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta ialah salat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan.
Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata, "Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw. yang sahih berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian mengikutiku."
Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari Imam Syafii yang mengatakan,
"Apabila ada hadis sahih, sedangkan aku mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan merujuk kepada hadis sahih tersebut."
Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari kalangan para imam rahimahumullah.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa salat wusta adalah salat Subuh, mengingat hadis-hadis yang sahih menyatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar.
Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadis dari kalangan mazhab Imam Syafii sendiri.
Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang menolak bahwa salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka bersikeras bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Subuh saja.
Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meriwayatkan masalah ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian mengenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut.
Firman Allah Swt.:
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Perintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat, karena berbicara dalam salat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah Rasulullah Saw. tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud kepadanya ketika beliau sedang salat. Setelah beliau Saw. selesai dari salatnya, barulah beliau bersabda:
Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada kesibukan.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam salatnya:
Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu pun dari pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah tasbih, takbir, dan zikrullah.
Disebutkan, "Kami dahulu biasa mengucapkan salam kepada Nabi Saw. sebelum kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau Saw. selalu menjawab salam kami." Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas'ud dipenuhi oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah beliau Saw. bersalam, beliau bersabda:
Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku sedang dalam salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah kalian berbicara di dalam salat.
Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah seorang yang masuk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya:
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang lelaki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam salat' hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan. Ia mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini.
Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa hal tersebut (berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya. Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya, dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut: Kami biasa mengucapkan salam antara sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam salat. Lalu aku bersua dengan Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku. Setelah Nabi Saw. Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, "Wa'alaikas salam warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt. memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian berada di dalam salat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian berbicara.”
4 Tafsir Al-Jalalain
(Peliharalah semua salatmu), yakni yang lima waktu dengan mengerjakannya pada waktunya (dan salat wustha atau pertengahan). Ditemui beberapa pendapat, ada yang mengatakan salat asar, subuh, zuhur atau selainnya dan disebutkan secara khusus karena keistimewaannya. (Berdirilah untuk Allah) dalam salatmu itu (dalam keadaan taat) atau patuh, berdasarkan sabda Nabi saw., "Setiap qunut dalam Alquran itu maksudnya ialah taat" (H.R. Ahmad dan lain-lainnya). Ada pula yang mengatakan khusyuk atau diam, berdasarkan hadis Zaid bin Arqam, katanya, "Mulanya kami berkata-kata dalam salat, hingga turunlah ayat tersebut, maka kami pun disuruh diam dan dilarang bercakap-cakap." (H.R. Bukhari dan Muslim)
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Berusahalah melaksanakan semua salat dan lakukan secara terus menerus. Usahakan agar salat kalian menjadi lebih baik dengan cara melaksanakan seluruh rukun dengan niat sepenuh hati karena Allah Swt. Dan sempurnakanlah ketaatan kalian kepada Allah dengan sikap ikhlas dan khusyuk kepada-Nya.