يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ( البقرة: ١٧٢ )
Yā 'Ayyuhā Al-Ladhīna 'Āmanū Kulū Min Ţayyibāti Mā Razaqnākum Wa Ashkurū Lillāhi 'In Kuntum 'Īyāhu Ta`budūna. (al-Baq̈arah 2:172)
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (QS. [2] Al-Baqarah : 172)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang sehat, aman dan tidak berlebihan, dari yang Kami berikan kepada kamu melalui usaha yang kamu lakukan dengan cara yang halal. Dan bersyukurlah kepada Allah dengan mengakui bahwa semua rezeki berasal dari Allah dan kamu harus memanfaatkannya sesuai ketentuan Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Di dalam ayat ini ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan yang baik yang diberikan Allah, dan rezeki yang diberikan-Nya itu haruslah disyukuri. Dalam ayat 168 perintah makan makanan yang baik-baik ditujukan kepada manusia umumnya. Karenanya, perintah itu diiringi dengan larangan mengikuti ajaran setan. Sedangkan dalam ayat ini perintah ditujukan kepada orang mukmin saja agar mereka makan rezeki Allah yang baik-baik. Sebab itu, perintah ini diiringi dengan perintah mensyukurinya.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt. atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya.
Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa dan ibadah. Seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfirman, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Muminun: 51). Dan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" (Al Baqarah:172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara demikian?
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas. Akan tetapi, jumhur ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al Maidah:96)
Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab Muwatta’ dan kitab-kitab Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai laut:
Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal.
Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan:
Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan belalang, serta hati dan limpa.
Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah.
Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya najis —menurut Imam Syafii dan lain-lainnya— karena masih merupakan bagian dari bangkai tersebut.
Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah. Demikian pula halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan, tetapi menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju orang-orang Majusi.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya yang terdiri atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur dengan cairan (suci) yang banyak."
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw. bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya, adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya.
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk berhala.
Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah r.a., bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian hanya boleh makan buah-buahannya."
4 Tafsir Al-Jalalain
(Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara makanan yang baik-baik) maksudnya yang halal, (yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah) atas makanan yang dihalalkan itu (jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya menyembah).
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Telah Kami izinkan manusia untuk memakan semua yang halal(1) yang Kami ciptakan di bumi bagi mereka, dan Kami melarang mereka agar tidak mengikuti jejak langkah setan. Apabila mereka melaksanakan ketentuan itu semua maka mereka akan mendapatkan petunjuk. Namun jika mereka ingkar maka Kami akan memberikan petunjuk Kami hanya pada orang-orang yang beriman dan Kami akan menjelaskan kepada mereka yang halal dan yang haram. Maka, wahai orang-orang yang beriman, dihalalkan bagi kalian semua untuk memakan makanan yang enak dan baik dan bukan yang kotor dan keji. Syukurilah karunia Allah yang telah menghalalkan makanan yang baik-baik. Syukurilah pula karunia ketaatan dan kemampuan diri kalian untuk melaksanakan perintah-Nya demi sempurnanya ibadah kalian. {(1) Al-Qur'ân telah lama mendahului ilmu kedokteran modern dalam soal makanan. Diharamkannya bangkai itu sangat beralasan sekali karena binatang yang mati oleh sebab faktor ketuaan, atau mati karena terjangkit penyakit itu pada dasarnya mati karena zat beracun. Kalau kemudian binatang yang mati dengan cara seperti itu dikonsumsi oleh manusia, sangat mungkin ia akan mengalami keracunan. Lebih-lebih binatang yang mati dengan cara demikian (juga yang mati tercekik), darahnya akan mengendap di dalam tubuhnya, padahal seperti diketahui, darah itu menyimpan zat beracun yang bersembunyi dalam pembuluh darah dan urine. Demikian pula halnya dengan babi, dagingnya mengandung berbagai bibit penyakit yang jelas akan membahayakan orang yang memakannya. }