وَاِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ فَأْوٗٓا اِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ اَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا ( الكهف: ١٦ )
Wa 'Idh A`tazaltumūhum Wa Mā Ya`budūna 'Illā Allāha Fa'wū 'Ilaá Al-Kahfi Yanshur Lakum Rabbukum Min Raĥmatihi Wa Yuhayyi' Lakum Min 'Amrikum Mirfaqāan. (al-Kahf 18:16)
Artinya:
Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu. (QS. [18] Al-Kahf : 16)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Menghadapi kaumnya yang menyekutukan Allah dan penindasan penguasa negeri yang memaksa agar mereka meninggalkan kepercayaannya, maka salah satu dari pemuda itu atau beberapa dari mereka mengusulkan agar mereka meninggalkan negerinya ke tempat yang jauh. Sebagian dari mereka itu berkata, "Dan apabila kamu bermaksud hendak meninggalkan mereka, yakni kaumnya yang durhaka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, yakni sebuah gua yang telah mereka kenal dan ketahui sebelumnya, guna memelihara keyakinanmu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu guna memelihara dan melindungi kamu dari penganiayaan mereka dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu yang berkaitan dengan kebutuhan hidupmu maupun yang berkaitan dengan keyakinanmu.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa percakapan di antara mereka terus berlanjut, sebagian dari mereka berkata kepada yang lain, "Bilamana kamu menjauhkan diri dari kaum dan kampung halamanmu lahir dan batin, menolak untuk mengikuti adat-istiadat mereka, dan tidak mau menyembah selain Allah, sehingga menimbulkan kemarahan mereka terhadap kamu, maka seharusnya kamu mencari tempat berlindung seperti gua."
"Di tempat tersebut kamu dapat melakukan ibadah dengan tekun dan khusyuk serta terhindar dari gangguan kaummu. Bilamana kamu sudah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, serta memohon pemeliharaan-Nya, maka Dia tentu akan mencurahkan rahmat-Nya kepadamu. Kamu tidak akan mati kelaparan atau kehausan dalam gua itu. Allah swt akan memberi jalan keluar kepadamu dalam mengatasi kesukaran makan dan minum ataupun lainnya. Allah akan melapangkan jalan beribadah dengan sempurna kepada-Nya sehingga kamu bisa merasakan kelezatan ibadah yang melebihi kelezatan lainnya." Demikian isi percakapan mereka. Apa yang mereka ucapkan itu lahir dari keyakinan dan harapan mereka akan anugerah Allah dan berkat kepasrahan dan keimanan mereka yang sempurna kepada-Nya. Allah swt telah menggerakkan hati para pemuda itu untuk menjadi orang-orang yang saleh, penghuni gua. Kisah mereka akhirnya selalu dikenang dalam sejarah umat beragama. Demikian sifat para pemuda itu, selamanya hati mereka lebih suci dan lebih cinta kepada kebenaran, yaitu sifat yang amat baik yang diperlukan bagi seseorang pemimpin.
Ibnu 'Abbas berkata:
Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali dia seorang pemuda, dan tiada diberikan ilmu kepada seorang alim, kecuali dia pemuda.
Kemudian beliau membaca potongan ayat-ayat tersebut sebagai berikut:
Mereka (yang lain) berkata, "Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim." (al-Anbiya/21: 60)
Dan firman Allah swt:
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya. (al-Kahf/18: 60)
Dan firman Allah swt:
Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. (al-Kahf/18: 13)
Ayat ini menunjukkan ketabahan hidup para pemuda Ashhabul Kahf ketika menyepi di dalam gua karena menyembunyikan agamanya. Al-Gazali, dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin, menolak menggunakan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi keutamaan hidup uzlah. Beliau berkata, "Ashhabul Kahf tidak mengasingkan diri mereka sendiri antara satu dengan yang lain. Mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman. Mereka mengasingkan diri dari orang-orang kafir." Jadi wajarlah kalau mereka ber-uzlah agar terpelihara dari penyiksaan orang-orang kafir dan raja yang hendak membunuh mereka. Hidup menyepi dalam arti mengasingkan diri dari kejahatan dan kebatilan yang tidak dapat diperbaiki atau mereka tidak sanggup memperbaikinya, maka uzlah semacam ini dibenarkan. As-Suyuti dalam kitabnya Al-Iklil berpendapat bahwa dari ayat ini dapat dipahami bahwa uzlah, mengasingkan diri, lari dari kezaliman, dan tinggal dalam gua disyariatkan ketika situasi beragama tidak kondusif atau rusak. Pendapat beliau ini perlu penjelasan karena masih kabur. Zaman manakah yang bersih dari kerusakan? Sebenarnya yang dapat dipahami dari ayat ini ialah para pemuda itu mengasingkan diri karena adanya pemerkosaan terhadap hak hidup beragama.
Hidup uzlah karena frustasi dan keputusasaan dalam menghadapi kenyataan hidup tidak dibenarkan oleh agama. Untuk memahami ayat ini, harus diperhatikan suasana di kala terjadinya peristiwa uzlah-nya pemuda itu. Mereka menyepi dengan melarikan diri ke dalam gua karena akan dibunuh oleh raja yang sewenang-wenang. Suasana saat itu juga tidak mendukung untuk berjuang melawan kesewenang-wenangan raja, dan memperlihatkan keimanan mereka.
Di masa permulaan Islam, Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya berhijrah ke negeri Habsyah, kemudian ke Madinah, dan beliau sendiri lalu juga hijrah ke sana disebabkan oleh keganasan kaum musyrikin Quraisy, sedang kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa menghadapinya, karena masih lemah. Bahkan, bagi Nabi saw khususnya, mereka telah bersiap untuk membunuh-nya. Mereka mengepung rumah Nabi di malam hari untuk melaksanakan rencana pembunuhan itu.
Karena kaum musyrikin telah mengadakan persekongkolan untuk membunuh Nabi, maka Allah memerintahkan agar Nabi hijrah. Atas dasar perintah itulah, Nabi hijrah. Jadi, bukan karena lari dari medan peperangan, menyendiri atau uzlah, dan sebagainya. Hidup uzlah dalam arti mengasingkan diri dari kemewahan hidup dan perbudakan harta dan hawa nafsu, lalu hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana yang diperlihatkan sahabat Nabi Abu dzar Al-Gifari, tidak tercela, bahkan dibenarkan oleh agama Islam. Ibnu Katsir berkata, "Abu dzar berpendapat bahwa tidaklah patut seorang muslim memiliki harta melebihi dari persediaan makanannya sehari semalam, atau dari sesuatu yang diperguna-kannya untuk berperang, atau dari suatu yang disediakan untuk tamu. Beliau berpegang kepada dhahir ayat:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (at-Taubah/9: 34)
Abu dzar hidup dalam kesederhanaan karena tidak mau terlibat dalam kehidupan mewah yang mulai merebak pada zaman khalifah Usman r.a. Demikian contoh kehidupan uzlah yang terdapat di kalangan sahabat Rasulullah saw".
3 Tafsir Ibnu Katsir
Setelah tekad mereka bulat untuk lari meninggalkan kaumnya, maka Allah Swt. memudahkan mereka melakukan demikian, seperti yang dikisahkan dalam firman-Nya:
Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah.
Yakni bila kalian menentang mereka dan memisahkan diri dari mereka dalam hal beragama, maka pisahkanlah diri kalian dari rrereka.
...maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu. niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya.
Artinya, Tuhan kalian pasti akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan menyembunyikan kalian dari kaum kalian.
...dan menyediakan bagi kalian dalam urusan kalian.
yang sedang kalian kerjakan.
...sesuatu yang berguna.
Yakni hal yang berguna dan bermanfaat bagi tujuan kalian. Maka pada saat itulah mereka melarikan diri dari kaumnya dan berlindung di dalam sebuah gua. Ketika kaum mereka merasa kehilangan mereka, raja mereka mencari-cari mereka. Menurut suatu riwayat, si raja tidak berhasil menemukan mereka karena Allah menjadikan mata raja itu tidak dapat melihat mereka, seperti yang Dia lakukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan sahabat Abu Bakar As-Siddiq, saat keduanya bersembunyi di dalam gua Sur. Orang-orang musyrik Quraisy datang mencari mereka berdua, tetapi mereka tidak dapat menemukan keduanya, padahal mereka melewati jalan yang dilalui keduanya. Saat-itu Nabi Saw. melihat ketakutan yang mencekam diri sahabat Abu Bakar melalui kata-katanya yang berucap, "Wahai Rasulullah, seandainya seseorang dari mereka melihat ke arah tempat telapak kakinya, tentulah dia dapat melihat kita." Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:
Hai Abu Bakar, apakah yang mengkhawatirkanmu terhadap dua orang, sedangkan yang ketiganya adalah Allah?
Peristiwa itu disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengusirnya (dari Mekah), sedangkan dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkala kepada temannya, "Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (At Taubah:40)
Kisah gua tempat Nabi Saw. bersembunyi lebih mulia, lebih terhormat, lebih besar, dan lebih mengagumkan daripada kisah para pemuda penghuni gua itu.
Menurut suatu pendapat, kaum para pemuda itu dapat menemukan mereka, lalu mereka berdiri di depan pintu gua tempat para pemuda bersembunyi. Kaum mereka berkata, "Kami tidak menginginkan menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat daripada apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka sendiri." Kemudian raja mereka memerintahkan agar gua itu ditimbun dan ditutup pintunya agar mereka binasa di dalamnya. Maka kaum para pemuda itu melaksanakan perintah rajanya. Akan tetapi, pendapat ini perlu dipertimbangkan kebenarannya. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya, karena sesungguhnya Allah telah menceritakan bahwa matahari dapat menyinari mereka melalui pintu gua di setiap pagi dan petang, seperti yang disebutkan di dalam ayat berikut.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan apabila kamu meninggalkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabb kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian) Lafal mirfaqan dapat dibaca marfiqan artinya apa-apa yang menjadi keperluan kalian berupa makan siang dan makan malam.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
"Selama kita memilih jalan mengasingkan diri dari kaum yang mengingkari dan menyekutukan Allah," kata sebagian mereka kepada yang lainnya, "maka berlindunglah di dalam sebuah gua demi keselamatan agama kalian. Tuhan kalian pasti akan menurunkan karunia pengampunan dan memberikan kemudahan dengan menyediakan apa saja yang bermanfaat(1) bagi kalian untuk mempertahankan hidup. (1) Sampai saat ini belum didapatkan suatu informasi akurat siapa sebenarnya penghuni gua itu, kapan dan di mana gua tersebut berada. Namun demikian, akan dicoba paparkan di sini sedikit keterangan menyangkut kisah yang dituturkan ayat-ayat di atas. Berangkat dari isyarat al-Qur'ân yang menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka tengah mengalami penindasan agama yang menyebabkan mereka mengasingkan diri ke dalam sebuah gua yang tersembunyi. Sementara itu, sejarah kuno mencatat adanya beberapa masa penindasan agama di kawasan Timur Kuno yang terjadi dalam kurun waktu yang berbeda. Dari beberapa peristiwa penindasan agama itu hanya ada dua masa yang kita anggap penting, yang salah satunya barangkali mempunyai kaitan dengan kisah penghuni gua ini. Peristiwa pertama terjadi pada masa kekuasaan raja-raja Saluqi, saat kerajaan itu diperintah oleh Raja Antiogos IV yang bergelar Nabivanes (tahun 176-84 S. M). Pada saat penaklukan singgasana Suriah, Antiogos--yang juga dikenal sangat fanatik terhadap kebudayaan dan peradaban Yunani Kuno--mewajibkan kepada seluruh penganut Yahudi di Palestina, yang telah masuk dalam wilayah kekuasaan Suriah sejak 198 S. M., untuk meninggalkan agama Yahudi dan menganut agama Yunani Kuno. Antiogos mengotori tempat peribadatan Yahudi dengan meletakkan patung Zeus, Tuhan Yunani terbesar, di atas sebuah altar dan pada waktu-waktu tertentu mempersembahkan korban berupa babi bagi Zeus. Terakhir, Antiogos membakar habis naskah Tawrât tanpa ada yang tersisa. Berdasarkan bukti historis ini, dapat disimpulkan bahwa pemuda-pemuda itu adalah penganut agama Yahudi yang bertempat tinggal di Palestina, atau tepatnya di kota Yarussalem. Dapat diperkirakan pula, bahwa peristiwa bangunnya mereka dari tidur panjang itu terjadi pada tahun 126 M. setelah Romawi menguasai wilayah Timur, atau 445 tahun sebelum masa kelahiran Rasulullah saw. tahun 571 M. Peristiwa penindasan agama yang sama terjadi pada zaman imperium Romawi, saat Kaisar Hadrianus berkuasa (tahun 117-138 M). Kaisar Hadrianus memperlakukan orang-orang Yahudi sama persis seperti yang pernah dilakukan oleh Antiogos. Pada tahun 132 M., pembesar-pembesar Yahudi mengeluarkan ultimatum bahwa seluruh rakyat Yahudi akan berontak melawan kekaisaran Romawi. Mereka memukul mundur garnisun-garnisun Romawi di perbatasan dan berhasil merebut Yerussalem. Peristiwa bersejarah ini diabadikan oleh orang-orang Yahudi dalam mata uang resmi mereka. Selama tiga tahun penuh mereka dapat bertahan. Terakhir, Hadrianus bergerak bersama pasukannya menumpas pemberontak-pemberontak Yahudi. Palestina jatuh dan Yerussalem dapat direbut kembali. Etnis Yahudi pun dibasmi dan pemimpin-pemimpin mereka dibunuh. Orang-orang Yahudi yang masih hidup dijual di pasar-pasar sebagai budak. Simbol- simbol agama Yahudi dihancurkan, ajaran dan hukum-hukum Yahudi dihapus. Dari penuturan sejarah ini didapat kesimpulan yang sama bahwa para pemuda itu adalah penganut ajaran Yahudi. Tempat tinggal mereka bisa jadi berada di kawasan Timur Kuno atau di Yerussalem sendiri. Masih mengikuti alur sejarah ini, mereka diperkirakan bangun dari tidur panjang itu kurang lebih pada tahun 435 M., 30 tahun menjelang kelahiran Rasulullah saw. Tampaknya peristiwa pertama lebih mempunyai kaitan dengan kisah Ashhâb al-Kahf karena penindasan mereka lebih sadis. Adapun penindasan umat Kristiani tidak sesuai dengan kelahiran Nabi Muhammad saw.